YOGYA (KRjogja.com) - Masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi pekerjaan rumah terbesar yang harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Meski tren menunjukkan penurunan, namun angkanya masih tetap tinggi. Dari data BPS per September 2016, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 27,76 juta orang (10,7%). Sedangankan koefisien gini per Maret 2016 diangka 0,49.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Prof Dr Sri Adiningsih MSc untuk menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan tidaklah mudah. Pasalnya kondisi perekonomian nasional sangat dipengaruhi lingkungan eksternal (global) yang terus berubah, menyebabkan ekonomi dunia serba tidak menentu.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat jelas membuat dunia menunggu-menunggu, kebijakan ekonomi apa yang akan diambilnya. Apalagi AS resmi keluar dari Trans Pacific Partner (TPP) akhir Januari lalu dan meminta The Fed menaikkan suku bunganya.
"Harus diakui negara Amerika masih tetap yang tertinggi ekonominya, jadi perubahan yang terjadi di Amerika akan berimbas ke seluruh dunia," terang Sri dalam acara silaturahmi dan bincang-bincang bersama manajemen PT BP Kedaulatan Rakyat
di Aula KR Yogyakarta, Kamis (16/2). Hadir dalam acara tersebut, Direktur Utama PT BP KR dr Gun Nugroho Samawi, Komisaris Utama Drs HM Romli, jajaran direksi serta pemimpin redaksi KR Group.
Selain faktor Donald Trump, perekonomian juga dipengaruhi oleh keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Britain Exit (Brexit). Bagi Uni Eropa, keluarnya Inggris ini berdampak pada kekosongan anggaran sebesar 19,4 miliar eruo yang harus ditutup oleh negara anggota lain.
Menurut Sri Adiningsih, kemampuan Indonesia untuk tetap tumbuh di tengah kelesuan perekonomian global, salah satunya karena Indonesia sudah punya pengalaman menghadapi krisis hebat tahun 1997/1998 dan 2007/2008. Selain itu, Indonesia punya beragam sektor industri barang dan jasa, antara lain, komoditi, pertambangan dan pariwisata. Sehingga jika salah satu sektor mengalami kelesuan, sektor lain masih bisa tumbuh. Kemudian didukung tingkat konsumsi penduduk Indonesia yang tinggi dan reformasi ekonomi, sehingga perekonomian domestik bisa terus stabil.
Bahkan IMF memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030. Hal itu cukup beralasan, karena sebentar lagi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dengan banyaknya penduduk usia produktif, sehingga mempercepat roda perekonomian. "Potensi yang sangat besar ini harus dimanfaatkan dengan melakukan reformasi ekonomi yang lebih baik," kata Sri.
(Dev)