YOGYA (KRjogja.com) - Wisata dan keistimewaan DIY seharusnya menjadi sinergi yang saling menyatu. Namun, kondisi yang ada saat ini adalah sebaliknya. Beberapa kalangan juga masih belum bisa menterjemahkan apa sebenarnya keistimewaan DIY. Terlihat dari maraknya keberadaan atau pembangunan hotel di Yogyakarta yang tidak benar-benar melekat dengan keistimewaan DIY.
"Keberadaan hotel di Yogya yang booming<> tidak melihat dari sisi keistimewaannya dan belum mampu menterjemahkan keistimewaan DIY. Terlihat dari seragamnya tampilan arsitektur hotel yang dibangun. Selain itu, hotel-hotel baru juga tidak membangun patnership
dengan lingkungan sekitar yang sudah ada sebelumnya, sehingga memunculkan pertarungan yang mendesak hotel lama yang merupakan milik Yogya," tutur Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Prof Dr Phil Janianton Damanik MSi saat bersilaturahmi di Aula KR, Selasa (08/04/2014).
Turut menyertai Destha T Raharjana SSos MSi (Koordinator Bagian Diskusi dan Pelatihan), Sotya Sasongko SSos MSc (Koordinator Umum), Esti Cemporaningsih ST MSc (Koordinator Bagian Penelitian), Fernando Marpaung ST MSc (Koordinator Bagian Publikasi/Informasi), Henry Brahmantya SAnt (staf peneliti), Winda Herty Kuniasari (Koordinator Bagian Administrasi) dan Tri Winarni (staf keuangan). Rombongan diterima Pemimpin Redaksi KR, Drs Octo Lampiito MPd.
Ditambahkan Janianton, saat roadshow ke Gunungkidul ternyata masyarakat masih membayangkan pengembangan wisata yang mirip Kuta Bali. Padahal seharusnya menawarkan sesuatu yang beda dengan pengembangan 'local content', baik dari desain bangunan dan fasilitasnya.
"Selain itu, dari empat tahun kebelakang, pada tahun 2013 kepuasan wisatawan juga mengalami penurunan. Ada keluhan dari para wisatawan akan kebersihan dan tingkat kemacetan di Yogya," tambah Sotya Sasongko. (Mez)