Jokowi, di luar jabatannya, juga seorang manusia dan bapak yang memiliki kecenderungan alami untuk mendukung anaknya. Dalam konteks Jawa, ada pepatah 'Anak Polah Bopo Kepradah'—artinya, perilaku anak mencerminkan bimbingan orang tua. Dalam kasus ini, Jokowi mendukung bukan berdasarkan kepentingan semata, melainkan karena keyakinan bahwa visi dan misi yang telah dibangun selama ini akan dilanjutkan dan ditingkatkan oleh yang didukungnya.
Kritik yang Tumpul: Mengukur Gaya Jusuf Kalla
Kritik Jusuf Kalla yang menuding Jokowi haus kekuasaan harus kita teliti lebih dalam. Apakah ini berbasis fakta, atau sekadar senjata politik yang dilemparkan tanpa dasar? Kita perlu mengevaluasi dengan kritis dan menganalisa setiap statemen politik dengan mempertimbangkan konteks dan substansinya.
Kepuasan Publik sebagai Legitimasi Tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi yang tinggi mencerminkan kepercayaan akan kemampuannya untuk memilih calon yang tepat. Ini adalah sebuah indikator yang tidak bisa diabaikan. Dukungan presiden dalam konteks ini, bukanlah pertanda haus kekuasaan, melainkan refleksi dari ekspektasi publik terhadap kelanjutan kebijakan yang telah membawa hasil.
Refleksi
Menuntut Kesadaran Kritis atas Realitas Politik Dalam menyoal etika kepresidenan dan kampanye pemilu, kita harus menerapkan kesadaran kritis yang tidak terjebak dalam jargon-jargon yang melemahkan substansi demokrasi.
Presiden Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan warga negara, memiliki hak untuk memilih dan dipilih, untuk mendukung dan dikampanyekan—semua ini sepanjang jalur yang jelas didefinisikan oleh konstitusi dan UU Pemilu. Mengaburkan batas antara etika subjektif dan hukum objektif hanya akan menimbulkan kerancuan dalam praktik demokrasi kita yang seharusnya berjalan pada prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Oleh : Danang WS - Ketua DPD Partai Gerindra DIY dan Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah Prabowo-Gibran DIY.