Perda DIY Soal Pelacuran Sudah Berusia 70 Tahun, Denda Pelanggar Hanya Rp 100 Hingga Prostitusi Online Perlu diupdate

Photo Author
- Jumat, 14 Juni 2024 | 19:30 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi


KRjogja.com - YOGYA - Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 18 Tahun 1954 tentang Pelarangan Pelacuran di Tempat Umum sudah berusia 70 tahun saat ini. Ada banyak hal yang dirasa tak lagi relevan pada masa sekarang ini sehingga Perda mendesak untuk diperbaharui.

CLO Yayasan Victory Plus yang bergerak pada pendampingan pada orang yang terdampak HIV Aids, Laurensia Anna Yuliastanti Iriani mengatakan ada cukup banyak hal yang tak lagi relevan pada Perda DIY tersebut. Misalnya menurut dia, ada enam pasal yang tidak detail salah satunya menyebutkan denda bagi pelaku pelanggaran perda tersebut hanya sebesar Rp 100.

"Perda tersebut juga tidak mengatur adanya prostitusi online yang saat ini tengah marak. Persoalan yang muncul akibat prostitusi seperti kekerasan, bias gender, perdagangan anak dan lainnya juga belum terakomodir perda tersebut. Kemudian prostitusi kan dalam perda ini lebih banyak ke pekerja seks yang diberi sanksi, harapannya pada perda besok ada aturan bahwa pelanggan disanksi juga," ungkapnya di DPRD DIY tengah pekan ini.

Pemda DIY menurut dia harus segera mengubah perda prostitusi karena dikhawatirkan angka HIV/AIDS akan semakin bertambah. Dalam enam bulan terakhir, lembaganya sudah melakukan pendampingan pada lebih 70-100 orang dengan HIV.

Tahun lalu, Yayasan Victory Plus mendampingi lebih dari 5.000 orang dengan HIV. Sementara angka survei terpadu perilaku, angka sipilis tinggi. Angka hubungan seks tanpa pengamanan juga tinggi dan tempat transaksi seks juga banyak," tegasnya.

Pemda DIY diingatkan untuk pula mengantisipasi merebaknya prostitusi online. Saat ini orang tak perlu lokalisasi untuk menjajakkan diri yang justru membuat persebaran Pekerja Seks Komersial (PSK) semakin tidak terkendali.

"Mereka tidak hanya menjajakan diri secara online namun juga di tempat-tempat lain yang sulit dipantau seperti di salon-salon plus, panti pijat, karaoke hingga pemancingan plus. Dolly Surabaya atau Saritem di Bandung memang sudah ditutup tapi kan akhirnya ada juga salon dan panti pijat yang buka di sekitar itu, malah tersebar. Kemudian Surabaya angka tertinggi kasus IMS(penyakit kelamin) dan HIV di Jawa Timur. Di Bandung, angka IMS dan HIV juga tinggi se-Jabar. Karenanya penutupan lokalisasi nggak akan menyelesaikan masalah prostitusi," lanjutnya.

Anna menambahkan, Pemda DIY perlu segera pengambil kebijakan dengan melihat sekitar 400 titik transaksi seks di DIY yang tersebar di kabupaten/kota. Kajian dan upaya inovatif untuk meminimalisir prositusi di DIY harus dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut.

"Upaya yang bisa dilakukan antara lain edukasi kepada masyarakat untuk tidak menularkan penyakit pada orang lain. Edukasi ini penting mengingat banyak pelanggan PSK yang memiliki resiko tinggi menularkan IMS dan HIV ke keluarganya.Edukasi juga dibutuhkan karena munculnya prostitusi saat ini bukan semata-mata alasan ekonomi. Pola pikir dan gaya hidup mencari uang secara mudah seringkali menjadikan seseorang memilih menjajakan diri alih-alih bekerja lainnya. Hedonisme yang membuat orang malas bekerja keras akhirnya membuat orang jual diri secara online," pungkasnya. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Agusigit

Tags

Rekomendasi

Terkini

X