SASTRA Bulan Purnama (SBP) edisi 160 tahun 2025, akan diawali diisi dengan menggelat pembacaan geguritan karya perempuan penggurit dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pembacaan geguritan bakan digelar di Museum Sandi Jalan Faridan M Noto 21, Kotabaru Yogyakarta, Sabtu (25/1/2025) sore mulai pukul 15.30 WIB.
Menurut Koordinator SBP Ons Untoro, para perempuan penggurit yang akan hadir membacakan karyanya Sus S Hardjono (Sragen), Emi Sudarwati (Bojonegoro), Fransiska Ambar Kristyani ( Semarang), Ely Widayati (Nganjuk) Ucik Fuadhiyah (Semarang), Shaa Fia
( Semarang ) , Sawitri ( Sukoharjo), Ami Simatupang ( Yogya ), Teguh Purwantari (Kulon Progo), Suprihatin (Bantul), Yuli Purwati (Magelang), CS Purwanti (Bantul), Seruni unie (Solo), Saras Septy (Bantul). Kemudian Nela Nur Murosokhah (Temanggung), Alfiah Ariswati (Karanganyar), Ari Sulistyowati (Bantul), Lanjar P (Bantul), Supiyah (Bantul), Anas Sunu Murwani ( Sragen), Erndra Achaer (Purbalingga), Ika Zardhy Saliha ( Kulonprogo), Hands Yanies, Malang,” papar Ons Untoro.
Dikatakan Ons Untoro, bahwa geguritan adalah puisi yang ditulis menggunakan Bahasa Jawa. Saat ini cukup banyak perempuan penggurit yang terus berkarya, selain dipublikasikan melalui antologi puisi bersama, acapkali dipublikasikan di media cetak khusus sebagai media berbahasa Jawa. Para peerempuan penggurit ini sebagian besar profesinya sebagai guru, dan memiliki aktivitas menulis sastra, dalam hal ini geguritan.
“Sebagai karya sastra Jawa, geguritan memang hanya bisa dibaca oleh orang yang mengenali dan bisa berbahasa Jawa, sehingga kelompok masyarakat di luar Jawa, tak bisa memahami geguritan. “Buku kumpulan geguritan ini diberi judul Kinanthi Gurit Pawestri,” imbuh Ons Untoro.
Ons Untoro menjelaskan, SBP sebagai ruang bersama, SBP memberi ruang pada sastra Jawa untuk tampil, dan dari kumpulan geguritan ini, kita bisa tahu, bahwa penulis sastra Jawa ditengah minimnya media cetak, semangat menulisnya tidak surut.
“Saya senang melihat para perempuan terus berkarya dan memilih bahasa Ibu, dalam hal ini bahasa Jawa, sebagai bahasa untuk berekspresi. Dari geguritan ini, kita bisa tahu, bahwa bahasa Jawa masih terus dijaga oleh generasi yang lebih muda,” kata Ons Untoro.
SBP yang sudah berjalan lebih dari 13 tahun, lanjut Ons Untoro sudah beberapa kali memberi ruang sastra Jawa untuk tampil. Karena SBP, tidak hanya untuk sastra Indonesia, melainkan terbuka untuk karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa lokal. “Karena SBP diselenggarakan di Yogya, sehingga sastra Jawa yang mengambil kesempatan,” ujar Ons Untoro.
Sementara Dhanu Priyo Prabowo, peneneliti Sastra Jawa, dalam pengantar buku kumpulan geguritan di antaranya menyebutkan, bahhwa di jagad sastra Jawa, penulis sastra Jawa, sudah cukup lama berkarya. Para perempuan penggurit dalam buku ini, datang dari berbagai kota di Jawa: Yogyakarta, Jawa Tegah dan Jawa Timur.
“Para perempuan penggurit ini bersepakat untuk menulis bersama dalam satu buku, maka buku kumpulan geguritan yang diberi judul Kinanthi Gurit Pawestri adalah hasil kreativitas para perempuan yang sepakat berkarya dari kota masing-masing dan geguritan, puisi yang ditulis menggunakan bahasa Jawa merupakan pilihan bersama,” ujar Dhanu Priyo Prabowo. (Khocil Birawa)