Krjogja.com - SLEMAN - Ratusan mahasiswa berkumpul di UNU Yogyakarta, Rabu (4/6/2025) membedah buku 'JI The Untold Story : Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah'. Ustad Para Wijayanto, Eks Amir Terakhir Jamaah Islamiyah (JI) yang baru satu minggu menyelesaikan masa pemasyarakatan dihadirkan dan menyampaikan cerita di dalam tubuh organisasi terlarang tersebut.
Khoirul Anam, Stafsus Kepala Densus 88, yang juga menjadi pembicara mengatakan bahwa buku terbitan Desember 2024 mengulas berbagai hal seputar JI mulai latar belakang terjadinya bom Bali, dari mana DNA Jamaah Islamiyah, lalu momen krusial 1998 hingga afiliasi JI dan jawaban atas keraguan setelah bubarnya organisasi tersebut.
"Pada 1998 misalnya, ternyata JI sudah ada tawaran dari Al Qaeda merebut Indonesia menjadi negara Islam. Pasukan sejumlah 6 ribu dari kombatan, dana juga sudah siap. Namun keputusannya tidak dilakukan. Ada juga pesantren afiliasi JI yang santrinya sangat banyak. Kemudian bagaimana Fikih mengubah anggota JI dan menyadari bahwa perjuangan mereka keliru. Awalnya tidak mudah, penolakan namun diskusi dan anggota yakin. Adanya Fatwa 642 tentang jihad kekerasan tak boleh lagi dilakukan di Indonesia dan 42 alasan Syari. Buku ini menjawab pertanyaan atas keraguan setelah bubarnya JI, namun JI menandai keseriusan dengan penyerahan DPO, penyerahan alat, bahan, senjata, sosdek dan alasan syari, juga evaluasi kurikulum pesantren," ungkapnya.
Dr Muhammad Iqbal Ahnaf, Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah UNU Yogyakarta, mengungkap keraguan bubarnya JI memang menyeruak di masyarakat. Iqbal memberikan sorotan tentang kekerasan yang narasi awalnya selalu dimulai dari asumsi membela diri.
"Ini sangat menarik untuk kita cermati bersama. Dalam bahasa Sosiologi, JI mengalami rehumanisasi, ada orang memanusiakan kembali orang yang sebelumnya dinilai bukan manusia. Proses menanusiakan kembali manusia berpengaruh dalam perubahan ideologi itu. Kekerasan selalu dimulai dari asumsi untuk membela diri, orang menyerang tak mungkin kalau tidak merasa diserang. Pertanyaan, bagaimana memahami sedang diserang atau tidak. Ustad Wijayanto menjawab bahwa Indonesia tidak dalam situasi perang, tidak diserang dan memiliki pemimpin. Ini yang kemudian menjadi pijakan anggota JI," tandasnya.
Sementara, Solahudin, pengamat Terorisme, menjelaskan bahwa JI benar-benar sudah membubarkan diri, meski ia mengibaratkan banyaknya pertanyaan sangsi atas berubah ya sebuah ideologi. Tandanya menurut dia, JI melakukan demiliterisasi juga berproses mengubah ideologi secara internal.
"JI melakukan perubahan perilaku, mereka melakukan demiliterisasi menyerahkan alat barang, senjata, amunisi. Mereka melakukan penyerahan DPO, nama-nama organisasi sayap sudah diserahkan pada Densus 88. Saya bisa katakan JI mengalami perubahan perilaku. Perubahan ideologi, ada proses perubahan di dalam JI, sejak 2008 hingga 2024. Awalnya menganggap pemerintah dan aparat kafir, lalu menebalkan ekstrimisme JI karena buku Al Jami. Setelah itu dalam perjalanannya menemukan bahwa Indonesia merupakan negeri Muslim dengan syarat minimal dan maksimal. Selama ini JI menilai dari syarat maksimal. Mereka berkesimpulan Indonesia adalah negeri Muslim. Artinya cita-cita JI sudah tercapai, yang menjadi alasan membubarkan diri," lanjutnya.
Dalam momen tersebut, Ustad Para Wijayanto, Eks Amir Terakhir JI, mengemukakan bahwa proses perubahan JI sebetulnya terjadi dari sisi internal dan eksternal. Dua sisi ini yang mempengaruhi dan memastikan perubahan nyata di tubuh organisasi.
"Di internal JI, ketika kami menjadi amir, kami meneliti ulang bahwa yang berbuat hanya 20 persen tapi menghasilkan 80 persen masalah yang dihadapi JI dan di luar JI. Bagaimana bersikap berlebihan terutama takfir, sesama muslim di luar kelompoknya. Berkembang lagi setelah muncul kitab Al Jami, ada istilah Thogut yang sangat keras dibahas. Kaidahnya benar namun implementasinya tak benar. Mereka melakukan tindak pidana terorisme, pengeboman. Lalu keinginan mengubah sistem pemerintahan di Indonesia, ada keinginan mengubah jadi negara Islam," tambahnya.
Titik pemikiran perubahan selanjutnya dikatakan Wijayanto muncul ketika ada anggota JI yang melakukan mutilasi pada siswi SMK Nasrani du Poso. Pelaku mengatakan bahwa ingin membuat masyarakat non muslim marah.
"Dari situ kita putuskan JI bertabrakan dengan rujuan syariat Islam, justru mendatangkan mudharat menjauhkan maslahat. Harusnya menjaga jiwa malah mengorbankan jiwa. Kalau diteruskan kita akan menghadapi umat Islam yang membela NKRI. Itu muslim semua yang mudharat semua kalau memaksakan perubahan. Ini mudharat semua. Artinya harus bubar. Ada evaluasi juga cara menilai negara Islam. Kita Fikih ulang, cukup bahwa negara sudah Islam, suara Adzan di mana-mana di NKRI ini. Indonesia mayoritas penduduknya Muslim, artinya bangsa yang Muslim. Kontra produktif kalau terus memusuhi dan memutuskan kembali ke NKRI," pungkasnya. (Fxh)
Khoirul Anam, Stafsus Kepala Densus 88, yang juga menjadi pembicara mengatakan bahwa buku terbitan Desember 2024 mengulas berbagai hal seputar JI mulai latar belakang terjadinya bom Bali, dari mana DNA Jamaah Islamiyah, lalu momen krusial 1998 hingga afiliasi JI dan jawaban atas keraguan setelah bubarnya organisasi tersebut.
"Pada 1998 misalnya, ternyata JI sudah ada tawaran dari Al Qaeda merebut Indonesia menjadi negara Islam. Pasukan sejumlah 6 ribu dari kombatan, dana juga sudah siap. Namun keputusannya tidak dilakukan. Ada juga pesantren afiliasi JI yang santrinya sangat banyak. Kemudian bagaimana Fikih mengubah anggota JI dan menyadari bahwa perjuangan mereka keliru. Awalnya tidak mudah, penolakan namun diskusi dan anggota yakin. Adanya Fatwa 642 tentang jihad kekerasan tak boleh lagi dilakukan di Indonesia dan 42 alasan Syari. Buku ini menjawab pertanyaan atas keraguan setelah bubarnya JI, namun JI menandai keseriusan dengan penyerahan DPO, penyerahan alat, bahan, senjata, sosdek dan alasan syari, juga evaluasi kurikulum pesantren," ungkapnya.
Dr Muhammad Iqbal Ahnaf, Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah UNU Yogyakarta, mengungkap keraguan bubarnya JI memang menyeruak di masyarakat. Iqbal memberikan sorotan tentang kekerasan yang narasi awalnya selalu dimulai dari asumsi membela diri.
"Ini sangat menarik untuk kita cermati bersama. Dalam bahasa Sosiologi, JI mengalami rehumanisasi, ada orang memanusiakan kembali orang yang sebelumnya dinilai bukan manusia. Proses menanusiakan kembali manusia berpengaruh dalam perubahan ideologi itu. Kekerasan selalu dimulai dari asumsi untuk membela diri, orang menyerang tak mungkin kalau tidak merasa diserang. Pertanyaan, bagaimana memahami sedang diserang atau tidak. Ustad Wijayanto menjawab bahwa Indonesia tidak dalam situasi perang, tidak diserang dan memiliki pemimpin. Ini yang kemudian menjadi pijakan anggota JI," tandasnya.
Sementara, Solahudin, pengamat Terorisme, menjelaskan bahwa JI benar-benar sudah membubarkan diri, meski ia mengibaratkan banyaknya pertanyaan sangsi atas berubah ya sebuah ideologi. Tandanya menurut dia, JI melakukan demiliterisasi juga berproses mengubah ideologi secara internal.
"JI melakukan perubahan perilaku, mereka melakukan demiliterisasi menyerahkan alat barang, senjata, amunisi. Mereka melakukan penyerahan DPO, nama-nama organisasi sayap sudah diserahkan pada Densus 88. Saya bisa katakan JI mengalami perubahan perilaku. Perubahan ideologi, ada proses perubahan di dalam JI, sejak 2008 hingga 2024. Awalnya menganggap pemerintah dan aparat kafir, lalu menebalkan ekstrimisme JI karena buku Al Jami. Setelah itu dalam perjalanannya menemukan bahwa Indonesia merupakan negeri Muslim dengan syarat minimal dan maksimal. Selama ini JI menilai dari syarat maksimal. Mereka berkesimpulan Indonesia adalah negeri Muslim. Artinya cita-cita JI sudah tercapai, yang menjadi alasan membubarkan diri," lanjutnya.
Dalam momen tersebut, Ustad Para Wijayanto, Eks Amir Terakhir JI, mengemukakan bahwa proses perubahan JI sebetulnya terjadi dari sisi internal dan eksternal. Dua sisi ini yang mempengaruhi dan memastikan perubahan nyata di tubuh organisasi.
"Di internal JI, ketika kami menjadi amir, kami meneliti ulang bahwa yang berbuat hanya 20 persen tapi menghasilkan 80 persen masalah yang dihadapi JI dan di luar JI. Bagaimana bersikap berlebihan terutama takfir, sesama muslim di luar kelompoknya. Berkembang lagi setelah muncul kitab Al Jami, ada istilah Thogut yang sangat keras dibahas. Kaidahnya benar namun implementasinya tak benar. Mereka melakukan tindak pidana terorisme, pengeboman. Lalu keinginan mengubah sistem pemerintahan di Indonesia, ada keinginan mengubah jadi negara Islam," tambahnya.
Titik pemikiran perubahan selanjutnya dikatakan Wijayanto muncul ketika ada anggota JI yang melakukan mutilasi pada siswi SMK Nasrani du Poso. Pelaku mengatakan bahwa ingin membuat masyarakat non muslim marah.
"Dari situ kita putuskan JI bertabrakan dengan rujuan syariat Islam, justru mendatangkan mudharat menjauhkan maslahat. Harusnya menjaga jiwa malah mengorbankan jiwa. Kalau diteruskan kita akan menghadapi umat Islam yang membela NKRI. Itu muslim semua yang mudharat semua kalau memaksakan perubahan. Ini mudharat semua. Artinya harus bubar. Ada evaluasi juga cara menilai negara Islam. Kita Fikih ulang, cukup bahwa negara sudah Islam, suara Adzan di mana-mana di NKRI ini. Indonesia mayoritas penduduknya Muslim, artinya bangsa yang Muslim. Kontra produktif kalau terus memusuhi dan memutuskan kembali ke NKRI," pungkasnya. (Fxh)