Krjogja.com - YOGYA — Di balik bebukitan Kulon Progo yang tenang, terdapat potongan sejarah dan geologi Indonesia yang nyaris terlupakan.
Situs tambang Mangan Kliripan Karangsari bukan sekadar lubang bekas galian atau rel tua yang diam membisu, melainkan rekaman kompleks tentang sumber daya alam, kolonialisme, perjuangan bangsa, dan potensi masa depan lewat geowisata.
Itulah yang diangkat dalam Podcast Sapa Infrastruktur Episode 4 yang berlangsung pada Selasa, 23 Juni 2025, di Pusat Desain Industri Nasional Yogyakarta.
Dengan tajuk "Pengembangan Geowisata di Kawasan Mangan Kliripan Karangsari", podcast ini menghadirkan diskusi lintas sektor antara legislatif, perencana daerah, akademisi, hingga pegiat konservasi.
Dipandu oleh host Artika Amelia, episode ini menggali lapisan demi lapisan cerita dan tantangan kawasan tambang yang telah beroperasi sejak era kolonial itu.
Tampil sebagai narasumber adalah: Nur Subiyantoro, S.I.Kom selaku Ketua Komisi C DPRD DIY, Ika Yonita Gunawan, S.Si., M.P.P., M.URP selaku Perencana Ahli Muda Bapperida Kulon Progo, Muhammad Gazali Rachman, Ph.D – Peneliti dari Pusat Studi Geoheritage & Geopark UPN “Veteran” Yogyakarta
Tambang Mangan Kliripan telah disebutkan dalam buku pelajaran sejak lama, namun tak banyak yang tahu bahwa kawasan ini menyimpan kompleksitas luar biasa—baik dari segi sejarah sosial maupun geologi.
Di sinilah mangan pernah diangkut ke Batavia melalui jalur kereta, menjadikannya bagian penting dari ekonomi kolonial. Kini, yang tersisa adalah terowongan, bekas rel, dan reruntuhan bangunan pemrosesan bijih—sekaligus pertanyaan besar: akankah situs ini sekadar tinggal kenangan?
Muhammad Gazali menekankan bahwa secara geologis, Kliripan adalah representasi penting dari sistem endapan mangan busur vulkanik Indonesia.
"Kita bisa melihat dua jenis endapan di sini—primer yang hidrotermal, dan sekunder yang sedimenter. Ini textbook site, laboratorium alam bagi siapa pun yang ingin belajar geologi tropis," tegasnya.
Tak hanya ilmiah, kawasan ini dinilai memiliki nilai edukatif dan ekonomi yang tinggi. Ika Yonita menyoroti perlunya pengembangan berbasis partisipasi masyarakat.
“Kalau kita bicara geowisata, bukan cuma soal menarik turis. Ini soal membangun kesadaran kolektif, memperkenalkan sejarah lokal, dan membentuk identitas ruang,” ujarnya.
Namun tantangannya besar: vegetasi menutupi banyak singkapan penting, artefak berisiko hilang, dan minimnya dokumentasi digital membuat narasi tambang rawan terputus.
Sementara itu, Nur Subiyantoro menyampaikan bahwa DPRD DIY telah menginisiasi beberapa langkah untuk mendorong pelestarian dan pemanfaatan situs ini. “Kami tengah membahas agar situs tambang bersejarah bisa masuk dalam skema penganggaran konservasi dan dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).”