KRJogja.com – Kebutuhan industri kereta api di Indonesia terus melonjak, seiring dengan tumbuhnya mobilitas nasional dan ekspansi jaringan transportasi ke berbagai wilayah.
Namun, di balik geliat pertumbuhan tersebut, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam penguasaan teknologi komponen strategis, khususnya rem blok komposit dan roda kereta.
Dalam diskusi bertajuk "Potensi Pengembangan Komponen Kereta Api Dalam Negeri", yang digelar di Yogyakarta pada Jumat (25/7/2025), Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengungkap bahwa hingga saat ini, dua komponen vital tersebut masih harus diimpor.
"Formulasi bahan dan proses produksinya belum bisa kita kuasai dengan baik. Bahkan pernah diproduksi dalam negeri, namun hasil uji menunjukkan masih ada keretakan pada material," ungkap Faisol.
Menurut data Kementerian Perindustrian, kebutuhan tahunan rem blok komposit mencapai 220.000 unit, sementara roda kereta dibutuhkan sekitar 30.000 unit per tahun. Jumlah ini akan terus meningkat seiring bertambahnya armada, termasuk 8.334 gerbong dan 506 lokomotif milik PT KAI per 2025 (data PT KAI).
Vice President Technical Engineering of Rolling Stock PT KAI, Sugito, menambahkan bahwa komponen seperti roda umumnya diganti setiap satu tahun sekali, sedangkan rem blok diganti menyesuaikan kondisi pemakaian di lapangan.
“Komponen kereta itu tidak bisa disamaratakan umurnya. Semua tergantung frekuensi dan beban operasional,” jelas Sugito.
Penyebab utama masih diimpornya rem blok dan roda komposit adalah kesulitan dalam memenuhi standar teknis internasional, termasuk formulasi baja karbon, proses pemanasan, dan ketahanan material terhadap tekanan ekstrem. Selain itu, keterbatasan laboratorium pengujian bersertifikasi global di Indonesia turut menghambat pengembangan mandiri.
Hal ini sejalan dengan laporan International Railway Journal (IRJ) yang menyebut bahwa Asia Pasifik, termasuk Indonesia, merupakan pasar kereta api terbesar, namun masih sangat bergantung pada teknologi dari Eropa dan Jepang untuk komponen strategis.
Meski masih menghadapi tantangan, Faisol menyebutkan bahwa industri dalam negeri tidak sepenuhnya tertinggal. PT INKA, sebagai pemain utama manufaktur kereta di Indonesia, sudah mampu memproduksi kereta penumpang generasi baru, KRL, LRT, bahkan trem listrik otonom (autonomous battery tram).
“Tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk produk INKA sudah mencapai 40–60 persen. Tapi kita butuh loncatan di komponen inti seperti roda dan rem,” tegasnya.
Pemerintah pun terus mendorong sinergi antara akademisi, peneliti, dan pelaku industri untuk menutup kesenjangan teknologi. Diskusi seperti di Yogya ini diharapkan bisa merumuskan rekomendasi nyata untuk menciptakan industri kereta mandiri dan kompetitif secara global. (*3)