KRJogja.com – Budaya Jawa kembali menampakkan kekuatannya dalam kegiatan Siraman Pusaka yang digelar Paguyuban Trah HB II Pusat Yogyakarta, Sabtu (26/7/2025). Bertempat di Pendopo Hastodiningrat, Bantul, upacara adat ini menjadi momen penting untuk membersihkan, merawat, dan menguatkan kembali nilai-nilai warisan leluhur.
Tak sekadar membersihkan fisik pusaka, kegiatan ini sarat makna spiritual, sosial, dan budaya. Ketua Umum Paguyuban, KRT. Radyo Nolo Pratolo, SH, MS (Romo Yitno), menyebutkan bahwa siraman pusaka bukan ritual biasa, melainkan bentuk konkret nguri-uri budaya leluhur.
“Siraman pusaka memiliki manfaat luas. Secara spiritual membersihkan energi negatif, secara budaya melestarikan tradisi, dan secara sosial mempererat hubungan antaranggota trah,” ujar Romo Yitno.
40 Bilah Pusaka, 35 Peserta dari Berbagai Kota
Sekretaris Umum Paguyuban, Ibu Rngt. Ir. Suliestiyah Wiryodiningrat, MM, menyampaikan bahwa kegiatan ini diikuti oleh 35 peserta dari Yogyakarta, Jakarta, Madiun, Purworejo, hingga Kutoarjo. Total 40 bilah tosan aji—termasuk keris, tombak, dan senjata tradisional lainnya—disirami dan dirawat secara khusus.
Kegiatan ini dikoordinir oleh RW. Hasto Prakosa, S.Sos dan didukung oleh Sanggar Keris Mataram, komunitas pelestari budaya tosan aji yang aktif mengedukasi masyarakat tentang filosofi dan perawatan pusaka.
Makna Siraman Pusaka dalam Tradisi Jawa
Menurut budaya Jawa, pusaka tidak hanya benda mati. Ia diyakini menyimpan energi simbolik, nilai sejarah, dan kekuatan spiritual. Dalam kepercayaan tradisional, pusaka yang tidak dirawat bisa membawa pengaruh buruk karena energi negatif yang menempel.
Dikutip dari buku “Tosan Aji: Makna, Fungsi, dan Simbol dalam Kebudayaan Jawa” (Suyanto, 2021), ritual siraman bertujuan membersihkan fisik dan batin pusaka, sekaligus menjadi pengingat bahwa warisan leluhur harus dijaga dengan sepenuh hati.
Tradisi, Silaturahmi, dan Refleksi
Lebih dari sekadar ritual, Siraman Pusaka juga menjadi ajang silaturahmi anggota trah. Menyatukan anggota keluarga besar Trah HB II dari berbagai daerah bukan perkara mudah. Tapi lewat kegiatan seperti ini, ikatan emosional dan rasa memiliki terhadap warisan leluhur semakin kuat.
“Kegiatan ini bukan hanya merawat pusaka, tapi juga merawat persaudaraan. Menyadarkan kita dari mana kita berasal dan siapa leluhur yang kita warisi,” jelas Romo Yitno.