Krjogja.com - YOGYA - Juru parkir (jukir) eks Tempat Parkir Khusus (TPK) Abu Bakar Ali di kawasan Menara Kopi, mencurahkan isi hati. Mereka kini hidup dalam kesulitan karena sepinya kawasan relokasi setelah ABA direncanakan diubah menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Saiful Anwar, juru parkir yang telah bekerja di sekitar Malioboro selama puluhan tahun mengungkap setelah relokasi dilakukan pertengahan Juli lalu, ia mengaku tidak lagi memiliki penghasilan tetap. "Selama direlokasi itu kami tidak ada aktivitas sama sekali. Sudah lima bulan ini tidak ada kegiatan apa pun karena dari pemerintah sendiri belum ada pendampingan," ungkap Saiful, Rabu (15/10/2025).
Baca Juga: Diikuti 1.600 Peserta, Sukoharjo Playon 2025 Siap Digelar
Menurut Saiful, jumlah kendaraan yang parkir di Menara Kopi nyaris tidak ada, bahkan pada momen akhir pekan. Ia menyebut dalam satu hari, kadang tak satu pun kendaraan masuk yang berarti tak ada pemasukan.
"Sedikit sekali, hampir tidak ada. Nol, bisa dibilang begitu. Kadang ada satu dua kendaraan di hari Minggu, tapi minggu berikutnya tidak ada sama sekali. Tidak menentu, dan itu pun tanpa ada kebijakan atau dukungan dari pemerintah," sambungnya.
Ia menilai lokasi Menara Kopi sebenarnya strategis karena dekat dengan pusat kota. Namun, potensi itu tak bisa maksimal karena parkir liar di Jalan Margo Utomo dan sekitar Tugu justru tetap dibiarkan.
Baca Juga: Pelatih PSIM Jean-Paul Van Gastel Baca Permainan Persita, Begini Katanya
"Sebenarnya tempat ini efektif dan strategis, tapi masalahnya kami kalah dari parkir liar. Pemerintah Kota Yogyakarta menurut saya agak abai. Kami sudah direlokasi dengan baik, tapi pemerintah belum bisa menertibkan parkir liar. Parkir liar itu tidak bayar pajak, sementara kami yang resmi di sini harus bayar pajak," sambungnya.
Minimnya pemasukan membuat sebagian jukir memilih kembali menjadi parkir liar. Saiful sendiri mengaku kini melakukannya agar bisa menyambung hidup.
“Sekarang enggak ada pendapatan. Akhirnya saya sendiri malah jadi parkir liar, karena memang enggak ada pilihan lain. Dulu Alhamdulillah, pendapatannya lumayan. Bisa mencukupi kebutuhan keluarga, bisa bayar sekolah anak, sampai biaya gedung sekolah. Sekarang enggak ada sama sekali. Sampai sekarang saya masih punya tunggakan di Muhammadiyah, sekitar Rp 12 juta," lanjutnya.
Saiful menuturkan, relokasi ke Menara Kopi bukan kali pertama. Sejak awal 2000-an, ia dan rekan-rekannya sudah beberapa kali dipindahkan tanpa perlawanan.
"Pertama dari Abu Bakar Ali sekitar tahun 2001 sampai 2003 waktu ada pembangunan baru, kami berhenti lima bulan waktu itu, tapi enggak demo. Tahun 2015 dibangun lagi yang bertingkat setelah gempa, kami juga berhenti tujuh bulan, tetap sabar. Nah, sekarang direlokasi lagi dan sudah lima bulan seperti ini," sambungnya.
Saiful memperkirakan ada sekitar 230 pedagang dan jukir yang terdampak langsung relokasi ke Menara Kopi. Jika setiap pekerja menanggung keluarga, maka lebih dari 600 jiwa kini kehilangan penghasilan tetap.
"Jumlahnya sekitar 230 orang. Kalau dikalikan tiga saja per keluarga sudah berapa banyak yang terdampak. Itu baru hitungan kecilnya" sambungnya.
Kesulitan serupa juga dialami Suhadi, pedagang pakaian di Menara Kopi. Ia mengaku hanya memperoleh Rp 130 ribu selama lima bulan terakhir.
"Uangnya cuma cukup makan, Rp130.000 itu hasil lima bulan. Sebelum relokasi, bisa memperoleh Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per hari, bisa Rp1 juta pada akhir pekan. Sekarang ya begitu kondisinya," tambahnya.
Suhadi menambahkan, semua lapak di Menara Kopi dibangun dengan biaya pribadi pedagang, rata-rata Rp1,2 juta per orang. "Kita bikin sendiri, pemerintah janji bantu tapi sampai sekarang belum ada realisasinya," lanjutnya.
Sementara, Wakil Ketua Paguyuban Keluarga Besar ABA, Agil Suhariyanto mengatakan pemerintah akan segera mengambil langkah konkret untuk menata lalu lintas di sekitar kawasan Tugu. Salah satu rencana yang disampaikan adalah melakukan rekayasa lalu lintas dari arah Simpang Gramedia ke baratagar bus besar tidak melintas di jalur padat.
Sebagai solusi, halte portabel Trans Jogja akan disiapkan agar wisatawan dapat naik dan turun di sekitar Menara Kopi. Agil menilai, rencana tersebut belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.
Menurutnya, masalah utama bukan semata soal akses bus wisata ke Menara Kopi, melainkan keberadaan parkir liar di Jalan Margo Utomo yang justru menyalahi kesepakatan penataan kawasan Sumbu Filosofi. "Padahal dulu sudah disepakati, dari Tugu ke selatan tidak boleh dilalui bus. Tapi sekarang justru ada kantong parkir yang dibiarkan. Kalau itu masih dibiarkan, bagaimana wisatawan mau ke sini," pungkasnya. (Fxh)