Krjogja.com –YOGYA– Perkembangan teknologi digital dan media sosial yang kian masif disebut ikut memengaruhi kebiasaan membaca masyarakat. Akses informasi yang serba cepat melalui gawai perlahan menggeser kebiasaan membaca buku, terutama di kalangan remaja dan generasi muda.
Guru Besar sekaligus Pengamat Budaya Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum., menjelaskan bahwa menurunnya minat baca tidak bisa semata-mata disalahkan pada kehadiran media sosial. Menurutnya, persoalan utama justru terletak pada cara masyarakat memaknai proses membaca itu sendiri.
Ia menilai, di era digital saat ini, membaca tidak lagi terbatas pada buku cetak. Informasi bisa diperoleh dari berbagai medium, mulai dari artikel daring, esai, jurnal digital, hingga diskusi di media sosial. Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana masyarakat mampu memahami, mengolah, dan menyikapi informasi tersebut secara kritis.
“Apapun medianya, karena menurutku yang terpenting bukan sekadar meningkatkan minat baca, tetapi membentuk kesadaran tentang apa yang dibaca dan bagaimana cara membacanya. Banyak hal penting ada di media sosial, dan banyak hal tidak penting justru ada di buku sehingga jelas persoalannya bukan tentang minat, tetapi cara membaca,” ungkap Aprianus, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (27/11/2025).
Lebih jauh, Aprinus menekankan bahwa literasi sejatinya berkaitan erat dengan strategi hidup dan kebudayaan. Kebiasaan membaca tidak tumbuh secara instan, melainkan dibentuk oleh lingkungan keluarga, pendidikan, serta budaya sehari-hari. Jika sejak awal masyarakat tidak dibiasakan untuk membaca secara reflektif, maka derasnya arus informasi digital justru berpotensi menenggelamkan kemampuan berpikir kritis.
Di sisi lain, media sosial sebenarnya memiliki potensi besar sebagai sarana literasi. Platform digital bisa menjadi ruang berbagi gagasan, pengetahuan, hingga karya seni, asalkan digunakan secara bijak. Tanpa kemampuan berpikir kritis, media sosial justru hanya akan melahirkan kebiasaan konsumsi informasi yang dangkal dan serba instan.
Penurunan minat baca di era digital, dengan demikian, bukan sekadar soal teknologi yang semakin canggih. Lebih dari itu, tantangan utamanya adalah bagaimana masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan kedalaman berpikir dan budaya literasi yang sehat.