Krjogja.com - SLEMAN - Sejumlah pengamat kebijakan publik, ahli ekonomi, akademisi, hingga legislator nasional berkumpul di Sahid Yogyakarta, Selasa (16/12/2025) dalam Round Table Discussion (RTD) yang digelar Nagara Institute bekerja sama dengan program Akbar Faizal Uncensored (AFU). Diskusi ini mengangkat tema “Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara".
Forum ini menjadi ruang dialog kritis menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang menandai transformasi kelembagaan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) serta penguatan peran Badan Pengelola Investasi Danantara. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan, lahirnya Danantara merupakan keputusan politik strategis Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan perspektif jangka panjang dalam pengelolaan aset negara.
"Danantara ingin kita keluarkan dari APBN untuk memberikan perspektif jangka panjang. Dividen BUMN dikelola Danantara dan diinvestasikan untuk jangka panjang. Kurvanya bukan pendek, tapi jangka panjang. Ini sudah dikuatkan dalam UU Nomor 1 dan 16 Tahun 2025," ungkap Misbakhun.
Menurutnya, dengan tidak lagi memasukkan dividen BUMN sebagai penerimaan rutin APBN, negara memiliki ruang lebih luas untuk mengoptimalkan nilai aset melalui investasi strategis yang berkelanjutan. "Ini yang kemudian harus dipahami oleh masyarakat secara luas," sambungnya.
Sementara itu, pakar ekonomi Ferry Latuhihin, M.Sc. mengingatkan bahwa risiko adalah keniscayaan dalam dunia bisnis, termasuk dalam pengelolaan Danantara. Ferry pun mengajak masyarakat untuk mengawasi perjalanan Danantara agar tetap dalam jalur yang seharusnya.
"Bisnis pasti ada risiko di mana pun. Masalahnya adalah bagaimana pemangku jabatan di Danantara memitigasi risiko tersebut. Kita sebagai masyarakat harus ikut mengawasi bagaimana gerak Danantara ini," tandasnya.
Ferry menilai Danantara membutuhkan waktu panjang untuk menunjukkan hasil, namun publik tetap harus memastikan perjalanannya tetap berada di jalur yang benar. Ia juga menyinggung peluang investasi strategis, seperti bisnis hotel di Mekkah untuk jamaah haji Indonesia, yang dinilai potensial namun tetap perlu pengelolaan profesional.
Pandangan senada disampaikan ekonom dan pakar kebijakan publik Ir. Wijayanto Samirin. Ia menekankan pentingnya tata kelola yang profesional, transparan dan minim politisasi.
"Danantara harus kita kawal betul agar berjalan sesuai rel. Orientasinya jangka panjang, tidak mungkin jika siklusnya tahunan atau lima tahunan mengikuti politik. Kita jaga agar Danantara benar-benar keluar dari siklus politik lima tahunan," tegasnya.
Diskusi ini juga menghadirkan sejumlah akademisi dan peneliti, antara lain Prof. Wihana Kirana Jaya (Guru Besar FEB UGM), Prof. Dr. Satya Arinanto (Peneliti Nagara Institute/Guru Besar FH UI), Mohamad Dian Revindo, Ph.D. (Peneliti Nagara Institute/LPEM FEB UI), serta Dr. R. Edi Sewandono (Peneliti Nagara Institute/SKSG UI). Para narasumber sepakat, kehadiran Danantara sebagai superholding BUMN diharapkan mampu meningkatkan efisiensi aset negara, menarik investasi global, serta memperkuat daya saing Indonesia di sektor strategis.
Namun demikian, seluruh proses tersebut harus dikawal secara ketat agar tetap “on the track”, berorientasi jangka panjang, transparan, dan benar-benar bermuara pada kemakmuran rakyat. (Fxh)