yogyakarta

Pakai Gamelan, Angklung Jalanan Malioboro Kembali

Jumat, 14 April 2023 | 23:38 WIB
Angklung jalanan Malioboro gunakan elemen gamelan. (Foto : Harminanto)

Krjogja.com - YOGYA - Suasana syahdu menyelimuti Malioboro, Jumat (14/04/2023) malam. Keramaian wisatawan yang menghabiskan waktu di pusat Kota Yogyakarta tertuju salah satunya di pedestrian sisi timur, tepatnya di depan toko Batik Terangbulan tak jauh dari Kompleks Kepatihan.


Sebuah grup angklung jalanan Malioboro memulai pentas, dengan dua penari perempuan mengenakan pakaian adat Jawa memimpin di depan. Ada yang berbeda di penampilan kali ini, di mana salah satu personil memainkan bonang, elemen dalam perangkat gamelan Jawa.


Lagu-lagu yang dimainkan tetap berirama dangdut, seperti 'Klebus' hingga 'Ojo Dibandingke' yang juga pernah dibawakan di Istana Presiden. Namun sedikit berbeda bahwa ada sentuhan suara bonang yang kini muncul dalam lagu.


[crosslink_1]


Penampilan komunitas angklung jalanan ini menjadi yang pertama kali setelah beberapa waktu dilarang oleh pengampu kebijakan setempat. Pasalnya, angklung jalanan masuk dalam PKL serta turunannya yang masuk dalam program penataan kawasan khusus pedestrian Malioboro dan Margo Mulyo sehingga keberadaannya dilarang.


Pentas perdana malam tadi sempat mendapatkan pelarangan pula oleh petugas yang berjaga. Namun, beberapa elemen yang mendampingi dari Forum Keberagaman Budaya Yogyakarta tetap berkeras bahwa komunitas angklung bisa tampil di pedestrian seperti biasa.


Timothy Aprianto dari Forum Komunikasi Masyarakat Yogyakarta bahkan sempat terlibat adu arugumen dengan petugas, juga Kepala UPT Cagar Budaya Yogyakarta, Ekwanto dalam sambungan telpon. Petugas akhirnya tetap memberikan kesempatan angklung untuk tetap tampil.


"Pentas Jumat 14 April ini adalah simbol perlawanan budaya. Goalnya adalah tegaknya kedaulatan kebudayaan di Malioboro. Ini hajat hidup mereka (angklung jalanan), jadi akan tetap tampil setiap malam. Ditata boleh tapi tidak boleh dilarang," ungkap Timotius pada wartawan.


Risang Yuwono, dari Tobong Institute menambahkan bahwa ekspresi dan apresiasi tidak dapat diganggu gugat sehingga harus tetap hidup di Malioboro. Pihaknya melihat proses pemajuan kebudayaan sangat jauh dari bentuk partisipatori masyarakat untuk menjaga Malioboro sebagai jantung kebudayaan Kota Yogyakarta.


"Pelarangan angklung yang menggunakan diksi harus berbudaya Jogja, menjadi kedangkalan pernyataan pejabat publik. Proses pembuatan kebijaan itu kami lihat ada maladministrasi. Dewan Kebudayaan Kota hampir tak tahu proses pelaksanaannya. Penekanan penggunaan alat musik yang disebut Jawa seperti Bonang dan apapun itu, terdapat pemaksaan artistik dan nilai kebudayaan. Kalau kesenian saja sudah diintervensi, itu satu kengerian bagi kami seniman," ungkapnya.


Risang meminta pemerintah untuk menghentikan proses kurasi seni yang dilakukan oleh UPT Cagar Budaya Yogyakarta saat ini. Pasalnya menurut dia, kurasi dilakukan sepihak serta mengesampingkan seni budaya sebagai nafas.


"Jangan meletakkan mereka menjadi objek pembangunan, ini bukan bangunan yang selesai dengan perijinan. Hentikan proses kurasi seni yang dilakukan sepihak oleh UPT. Harus ada kajian, panggil semua stakeholder. Pengamen jangan diasosiasikan sebagai PKL dan turunannya. Kegiatan mengamen adalah ekspresi dan apresiasi, bukan ekonomi jual dan beli," pungkasnya. (Fxh)

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB