Krjogja.com - YOGYA - Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang dilakukan secara serentak, diperkirakan lebih berat, namun demikian jika dilakukan dengan perencanaan yang baik, kebijakan yang tepat maka bisa lebih baik dibandingkan Pemilu sebelumnya. Dari pengalaman yang terjadi sebelumnya, Pemilu yang akan digelar ini nantinya bisa lebih Bermartabat dan Berbudaya.
Sebaran hoax pemilu, money politics, pemindahan suara ke kubu lain oleh oknum, hingga tercecernya pemilih yang berhak, diharapkan tidak terjadi lagi di Tahun 2024. Atau paling tidak bisa lebih ditekan jumlah kejadiannya.
Masyarakat sangat berperan penting dalam upaya memperkecil hambatan dalam mewujudkan Pemilu 2024 yang bermartabat. Dalam Workshop Pendidikan Politik dengan Tema "Strategi Mewujudkan Pemilu tahun 2024 yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa" yang digelar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DIY di Hotel Ruba Graha, Jumat (11/11) kemarin, disampaikan sejumlah persoalan yang terjadi pada Pemilu sebelumnya dan upaya yang harus dilakukan agar persoalan tersebut bisa diminimalkan. Para peserta yang umumnya tokoh masyarakat di Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta dihadirkan. Sedangkan narasumber yang ditampilkan sangat berbobot, yakni Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto ST MSi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Hamdan Kurniawan, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Muhammad Najib dan Mantri Kemantren Mantrijeron, Afrio Sunarno.
Eko Suwanto dalam kesempatan itu mengungkapkan pengalaman lapangannya, dan sejumlah temuan yang terjadi. Karena itu, atas dasar pengalaman tersebut, merumuskan usulan dan kebijakan kepada pihak terkait agar tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Baca Juga
Wujudkan Pemilu Bermartabat, Badan Kesbangpol DIY Gencar Sosialisasi
Kesbangpol DIY Luncurkan 4 Film Pendek Bertema Pendidikan Politik
Eko mengungkapkan masih banyaknya warga yang seharusnya berhak menjadi pemilih, namun tidak terjaring sebagai pemilih. Termasuk diantaranya yang pada saat coblosan sudah masuk usia 17 tahun. Atau anggota TNI/Polri yang sebelum hari coblosan sudah pensiun dan temuan lainnya.
"Karena itu, saya mengimbau pada warga, Ketua RT, atau siapapun yang mengetahui ada warga yang sudah berhak memberikan suara, hendaknya disampaikan dan didata," ujar Eko Suwanto.
Selain itu, pihaknya juga pernah menemukan warga yang sudah meninggal dan dikebumikan masih tercatat sebagai pemilih. "Karena itu, jika ada yang meninggal, selain mengurus bedah bumi juga diharapkan diurus akte kematiannya karena terkait dengan pendataan," ujar Eko.
Terdatanya dengan baik para pemilih tersebut bagian dari upaya terbentuknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang benar dan akurat. Selain itu, agar Pemilu Bermartabat dan Berbudaya terwujud dibutuhkan KPU yang netral dan profesional, pengawas Pemilu yang netral dan professional. Demikian juga dengan birokrasi, TNI dan Polri yang netral dan professional juga dibutuhkan. Disamping berita acara yang benar, surat suara benar dan akurat, rekapitulasi yang benar dan akurat serta perang melawan hoax, politisasi SARA, politisasi identitas dan money politics (politik uang). Setelah semua faktor bisa terpenuhi, maka tinggal dibutuhkan Kebijakan, Anggaran dan Regulasi yang mendukung agar Pemilu Bermartabat terwujud.
Menurut Eko, soal politik uang ini harus menjadi perhatian. Karena seorang calon ketika berambisi menjadi anggota legislatif atau kepala daerah dengan melakukan politik uang, maka sangat besar dana yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan suara yang besar untuk terpilih. Ketika terpilih maka akan berupaya mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan, termasuk dengan mengambil dana negara.
“Politik identitas kita harapkan jangan terjadi lagi. Pengalaman Pilkada di DKI Jakarta menjadi pengalaman dimana masyarakat menjadi terpecah pecah karena identitas,” ujarnya.
M Najib dalam kesempatan itu mengharapkan peran peserta workshop dan masyarakat pada umumnya untuk ikut mengawasi jalannya Pemilu. Tanpa keterlibatan masyarakat, maka pengawasan tidak dapat optimal.