Pentingnya pendidikan literasi visual dalam pendidikan informal maupun formal, karena kelemahan dalam literasi visual akan memperkeruh suasana pembangunan di Indonesia. Contoh di atas merupakan sebagaian kecil dari usaha budaya visual masuk dalam 4 pilar kuasa: agama, budaya, ekonomi dan politik. Untuk persoalan ini perlu kesadaran bagaimana cara menginterpretasi, karena literasi tersebut berangkat dari: decoding dan incoding.
Jika orientasi pendidikan literasi dilakukan sejak dini, maka sasaran perubahan dimulai dari perguruan tinggi. Menurut Gubernur DIY dalam sambutan pada Musyawarah Daerah Gerakan Pramuka (Maret 2017), lembaga pendidikan baik pendidikan tinggi maupun pendidikan di bawahnya seharusnya bukan sebagai the agent of change saja, melainkan harus berperan sebagai the actor of change.
Berangkat dari situasi ini, maka Fakultas Bahasa dan Seni atau yang lain sebagai agen dan aktor perubahan zaman harus menyiapkan program dengan konstelasi tepat tentang pendidikan literasi visual. Setidaknya, dengan acuan pendidikan karakter akan memasukkan pemahaman literasi visual sebagai bagian pendekatan partisipasi dosen, mahasiswa, dan sivitas akademika. Dengan harapan berangkat dari pendekatan kearifan lokal.
(Dr Hajar Pamadhi MA Hons. Dosen Seni Rupa FBS UNY. Artikel ini telah tayang di surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi Selasa 2 Mei 2017)