Krjogja.com - YOGYA - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebut hilirisasi bukan solusi dari semua persoalan yang dihadapi Indonesia. Calon pemimpin seharusnya menyadari hilirisasi bukan lampu Aladin yang bisa menjadi solusi berbagai permasalahan bangsa.
Hilirisasi adalah program suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi.
Baca Juga: Kiper Asing PSS Ini Ternyata Pernah Kerja di SPBU, Begini Ceritanya
"Hilirisasi memberikan nilai tambah pada satu komoditas tertentu, namun faktanya agenda tersebut justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif saat ini," ucap Fahmy di Yogyakarta, Kamis (25/01/2024).
Fahmy mengatakan hilirisasi industri dalam beberapa waktu terakhir dilakukan di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Dua wilayah itu sedianya memang mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Akan tetapi di saat yang sama justru jumlah penduduk miskin di wilayah itu meningkat.
"Rendahnya lapangan pekerjaan baru dan tingginya angka kemiskinan itu mengindikasikan bahwa nilai tambah hilirisasi tidak dinikmati masyarakat setempat. Ironisnya, masyarakat setempat justru menanggung dampak kerusakan lingkungan akut dari pertambangan dan smelter nikel," tuturnya.
Selain itu, Fahmy juga tak menampik hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah mendorong peningkatan nilai jual komoditas tersebut. Tercatat pada 2018 nilai ekspor biji nikel Rp 15 triliun. Pada 2022 nilai ekspor nikel setelah menjadi produk setengah jadi meningkat menjadi Rp360 triliun.
Baca Juga: Disemangati Ratusan Suporter Saat Latihan, PSIM Harga Mati Menang di Mandala Krida
Namun peningkatan nilai hilirisasi itu baru setara 30% dari nilai potensialnya. Sementara 70% peningkatan nilai hilirisasi itu lebih banyak dinikmati China.Sehingga gaung hilirisasi yang disebut menguntungkan Indonesia patut dipertanyakan.
"Nilai tambah hilirisasi nikel masih rendah, diperkirakan sekitar 30% dari nilai tambah yang dihasilkan hilirisasi, 70% nilai tambah dinikmati oleh investor Tiongkok. Lapangan pekerjaan baru yang diciptakan hilirisasi tidak begitu banyak lantaran investor mengusung tenaga kerja dari China" ungkapnya.
Karenanya, Fahmy menilai hilirisasi bukan solusi atas persoalan yang ada di Indonesia. Sebab, upaya penghiliran industri itu pun masih menyisakan banyak permasalahan yang urung dituntaskan pemerintah. (Ira)