KRjogja.com - Menanggapi pernyataan Direktur PSHK FH UII Dian Kus Pratiwi mengenai presiden yang memihak dan berkampanye, kita perlu tajam membedah lapis-lapis etika, hukum, dan praktik demokrasi yang berlaku. Tuduhan 'salah kaprah' terhadap presiden yang kampanye memerlukan pengamatan yang tidak hanya terpaku pada norma, tetapi juga pada substansi konstitusional dan preseden historis yang telah terbentuk.
Hak Konstitusional vs Ketakutan akan Penyalahgunaan
Di tengah hiruk-pikuk tahun politik, muncul keraguan dan paranoia terhadap kemungkinan presiden memihak dalam kontestasi pemilu. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai warga negara, presiden memiliki hak untuk memilih dan dipilih, sebagaimana dijamin oleh Pasal 43 ayat (1) UU HAM. Namun, hak ini sering terkontaminasi oleh kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan. Apakah benar presiden memihak merupakan langkah demokratis yang sah, atau sebaliknya, pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan?
Melihat ke luar, contoh nyata dari praktik demokrasi di negara maju seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa keberpihakan presiden dalam kampanye bukanlah hal yang tabu. Kita ingat bagaimana Obama mendukung Clinton di 2016—suatu tindakan yang secara terbuka mendemonstrasikan dukungan politik tanpa menimbulkan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Mengapa, ketika hal serupa terjadi di negeri kita, kita terjebak dalam keraguan?
Ketegasan Hukum dalam Keberpihakan Politik: Menyelami Klarifikasi Jokowi
Dalam debat publik yang semakin memanas terkait keberpihakan presiden dalam pemilu, Jokowi dengan tenang mengklarifikasi ombak kegaduhan. Menanggapi pemberitaan yang menyudutkan, ia tak lain membawa kita kembali ke dasar hukum yang tertuang dalam UU Pemilu. Klarifikasinya bukan sekadar pembelaan, melainkan pengingat bahwa dalam berpolitik, ada garis yang tidak boleh dilampaui—garis yang telah diukir oleh aturan main yang kita sepakati bersama.
Mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017, Jokowi menggarisbawahi Pasal 299 ayat (1), yang mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden memang memiliki hak untuk berkampanye. Namun, hak ini diikat ketat oleh Pasal 281 ayat (1), yang menuntut kampanye dilakukan tanpa fasilitas negara, kecuali pengamanan sesuai aturan. Penegasan ini membuka mata kita: keberpihakan presiden bukanlah cek kosong untuk merampas sumber daya negara demi kepentingan pribadi atau politis.
Lebih lanjut, Jokowi memperjelas bahwa ketika presiden memilih untuk berkampanye, ia harus mematuhi koridor hukum yang jelas—termasuk wajib cuti dari tanggungan negara, seperti yang diatur dalam UU. Jokowi tidak sekadar bicara; ia menunjukkan dengan contoh bahwa menjaga tugas penyelenggaraan negara tetap menjadi prioritas utama.
Dalam situasi di mana kendaraan dinas, gedung kantor, atau fasilitas pemerintah lainnya menjadi godaan, presiden dilarang keras menggunakan segala sarana tersebut untuk kepentingan kampanye, kecuali dalam kondisi yang dikecualikan oleh prinsip keadilan. Penggunaan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan protokoler—yang merupakan hak dasar pejabat negara—tetap diizinkan, tapi harus proporsional dan profesional.
Akhirnya, ketika presiden memutuskan untuk mengambil cuti kampanye, prosesnya bukan tanpa pemberitahuan. Jadwal cuti harus disampaikan ke KPU maksimal 7 hari kerja sebelum kampanye dimulai, sebuah mekanisme yang mendukung transparansi dan integritas.
Dalam sorotan ini, Jokowi tidak hanya mempertahankan martabat jabatannya, tetapi juga martabat proses demokrasi yang kita banggakan. Klarifikasinya mengingatkan kita bahwa ada aturan yang melindungi demokrasi kita dari kepentingan sempit, dan bahwa keberpihakan dalam politik harus dibingkai dalam aturan yang jelas, tidak dalam asumsi yang kabur atau tuduhan yang tendensius.
Etika Politik: Relatif atau Absolut?
Tuduhan 'tidak etis' yang dilontarkan kepada presiden yang memilih untuk kampanye dan memihak dalam pemilu sering kali tidak didasarkan pada hukum yang berlaku, melainkan pada ukuran subjektif yang beragam. Etika, dalam konteks ini, seringkali menjadi kanvas luas yang dicorat-coret oleh kepentingan politik. Jika presiden memutuskan untuk kampanye sesuai dengan aturan yang ada, apakah itu bisa dituduh tidak etis? Tidak, karena etika tidak boleh dicampuradukkan dengan perspektif personal yang sempit dan terfragmentasi.
Selain itu, Beberapa berpendapat bahwa larangan bagi presiden untuk berkampanye memerlukan perubahan dalam konstitusi negara. Jika kita serius ingin menerapkan perubahan tersebut, maka langkah konstitusional melalui amendemen UUD 1945 merupakan jalan yang harus ditempuh. Perubahan dalam UU Pemilu juga menjadi keniscayaan. Namun, apakah ini benar-benar langkah yang kita inginkan sebagai bangsa, atau hanya reaksi terhadap dinamika politik saat ini?
Humanitas Presiden: Seorang Bapak dan Politik