Krjogja.com - YOGYA - Polemik ijazah Presiden ke 7 Joko Widodo kembali bergulir dan memicu berbagai reaksi di ruang publik. Tidak hanya mencuat di media sosial, diskursus ini juga mulai menyeret institusi pendidikan dan menimbulkan kegaduhan yang menurut sebagian pihak tidak perlu.
Salah satu suara kritis datang dari Sekretaris Jenderal Rejo Semut Ireng sekaligus alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Rinatania Fajriani, S.E., M.Sc., Ph.D (cand.). Rina sapaan akrab Rinatania menilai narasi yang terus didorong terkait keabsahan ijazah Jokowi tidak memiliki landasan substansial.
Baca Juga: Pengusaha Muda DIY Ngobrol Santai Bersama Mas Wapres
"Sebagai junior di keluarga besar KAGAMA, saya memahami bahwa dinamika politik di kalangan alumni itu nyata dan historis. Tapi Pemilu sudah selesai. Saatnya kita kembali duduk bersama, berkolaborasi demi agenda besar: kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia," ungkap Rina dikutip, Kamis (10/7/2025).
Menurut Rina, serangan personal terhadap Jokowi yang tak berbasis fakta hukum hanya akan mencederai integritas publik dan menyesatkan fokus demokrasi. Isu tersebut dinilainya bukan lagi soal legalitas dokumen, tapi lebih ke provokasi distrust terhadap Jokowi.
"Dan bila narasi yang dibangun hanya untuk merusak legitimasi dan legacy beliau, wajar kalau publik bertanya, apa yang sebenarnya sedang disembunyikan lewat kebisingan ini," sambungnya.
Baca Juga: PERIP Gelar Sosialisasi Asabri Beri Pemahaman Regulasi
Rina menyampaikan bahwa Rejo Semut Ireng sejak awal berdiri, berada di garda terdepan mendukung Jokowi. Bukan hanya dalam momen elektoral, tetapi juga dalam kerja-kerja sosial pasca-Pilpres.
"Kami tidak hanya hadir saat kampanye. Selepas pemilu, kami kembali ke tengah masyarakat, menjalankan program pemberdayaan petani, nelayan, UMKM, hingga edukasi politik berbasis gotong royong," tandasnya.
Rejo Semut Ireng ditegaskan Rina tidak akan terjebak dalam polarisasi pasca-Pemilu. Pihaknya menyadari dalam dunia politik, selalu ada yang menang dan yang kalah.
"Tapi substansi demokrasi adalah kemampuan untuk berdamai setelah kontestasi. Kalau berani bertanding, harus siap menang dan siap kalah. Tapi yang paling penting, siap dewasa. Demokrasi bukan soal siapa paling keras bersuara, tapi siapa paling bijak setelah suara dihitung," pungkasnya. (Fxh)