yogyakarta

GSM Ingatkan Bahaya 'Ketidakberpikiran' di Era Digital dan AI

Rabu, 3 September 2025 | 10:10 WIB
Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal menyampaikan paparan dalam forum Ngkaji Pendidikan. (Istimewa)

Krjogja.com - YOGYA - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) memperingatkan bahaya fenomena 'ketidakberpikiran' yang kian mengancam dunia pendidikan di era digital dan kecerdasan buatan (AI).

Menurut GSM, kondisi ini terjadi ketika manusia terjebak rutinitas birokrasi maupun algoritma digital tanpa ruang refleksi, sehingga menumpulkan nalar kritis, mengikis imajinasi moral, dan menjauhkan manusia dari kesejatian dirinya.

Baca Juga: Respon Krisis Nasional, Jajaran Tokoh Bangsa Gelar Diskusi

Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, menegaskan waktu guru dan siswa terlalu banyak tersita pada urusan administratif serta algoritma media digital, sementara kesempatan untuk berpikir, berdialog dengan nurani, dan berimajinasi semakin sedikit.

"Jika guru hanya menyalin pertanyaan dari buku teks, murid hanya tumbuh sebagai pengikut, bukan pencipta," ujarnya dalam forum refleksi pendidikan 'Ngkaji Pendidikan' pada 30 Agustus 2025 yang diikuti 650 peserta dari berbagai daerah.

Rizal menyebut krisis 'ketidakberpikiran' tidak hanya menjangkiti sekolah, tetapi juga terlihat dalam kehidupan sosial dan politik.

Baca Juga: Gelar Webinar Internasional FK UII Kolaborasi Lintas Negara

Dari perilaku wakil rakyat yang koruptif, arogan, dan abai pada nasib rakyat, hingga aparat yang represif, semua menunjukkan hilangnya refleksi moral. Ia menilai pendidikan harus menjadi benteng peradaban yang melahirkan manusia merdeka, visioner, dan autentik.

Dalam paparannya, Rizal mengingatkan bahaya birokrasi pendidikan yang kaku dan patuh aturan tanpa makna. Sebagai solusi, GSM menawarkan dua fondasi utama: dialog batin dan imajinasi moral.

Dialog batin melatih manusia mempertanyakan benar-salah tindakannya, sedangkan imajinasi moral mengajak guru memahami dunia dari perspektif murid. Jika dipadukan dengan kesadaran natalitas dan ruang plural, hal ini diyakini mampu melahirkan tindakan autentik yang dibutuhkan bangsa.

Untuk menegaskan pesannya, Rizal mengangkat teladan Siti Soendari Darmobroto, guru sekaligus wartawan pejuang pendidikan pribumi di era kolonial. Di Kongres Pemuda 1928, Soendari sudah membayangkan Indonesia merdeka dengan imajinasinya sendiri, bukan hasil buatan kolonial.

"Itu lahir dari keberanian berdialog dengan batin dan setia pada imajinasi moral, bukan pada iming-iming jabatan," ujarnya.

Acara Ngkaji Pendidikan di Tangerang Selatan itu dibuka dengan monolog siswa yang digambarkan dari masa depan sebagai pengingat bahwa krisis pendidikan akan ditanggung generasi mendatang. Prolog itu ditutup dengan pesan bahwa harapan selalu ada bila guru berani mengambil peran.

Kegiatan ini terselenggara berkat gotong royong komunitas GSM setempat yang menggalang sponsor dan urun dana demi mendorong perubahan pendidikan di kota mereka.

Halaman:

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB