Krjogja.com - YOGYA - Festival Teater Perempuan Yogyakarta 2025 digelar di Gelanggang Inovasi dan Kreatif Universitas Gadjah Mada (GIK UGM), Sabtu (20/9/2025). Pementasan perdana bertajuk 'Nyanyian Angin' menjadi sorotan utama, mempersembahkan karya penulis naskah Gati Andoko yang diarahkan sutradara Rina Nikandaru, pimpinan produksi Bambang "Bhe" Susilo.
Acara ini diinisiasi oleh Teater Wanita Ngunandhika (WN) dengan dukungan Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Selain pertunjukan teater, malam pembukaan turut menghadirkan pembacaan puisi oleh BRAy Iriani Pramastuti. Kehadiran pembacaan puisi itu memberi sentuhan puitis yang selaras dengan tema utama festival, yakni mengangkat perempuan sebagai subjek yang bebas berekspresi dalam seni pertunjukan.
'Nyanyian Angin' menceritakan pergulatan batin seorang perempuan tua dalam pencarian eksistensi di tengah arus modernitas. Naskah tersebut menggambarkan bagaimana warisan budaya, seperti lesung, mulai terpinggirkan dan tidak lagi dianggap penting oleh generasi baru. Lesung dalam pementasan ini menjadi simbol benang merah peradaban yang mesti dilestarikan seiring perkembangan zaman.
Pimpinan Teater Wanita Ngunandhika, Dra. Hj. Yeni Rumiyaningtyas, menyampaikan apresiasinya kepada para pihak yang mendukung terlaksananya festival perdana ini. “Kami berterima kasih kepada Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, LPDP, juga kepada Walikota Yogyakarta, Bupati se-DIY, para seniman, dan pemerhati seni yang telah memberi dukungan sehingga acara ini bisa terwujud,” ujarnya.
Yeni menjelaskan, Festival Teater Perempuan Yogyakarta lahir dari gagasan Prof. Dr. Dra. Yudiaryani, M.A yang kemudian diwujudkan bersama Teater WN. Menurutnya, proses persiapan berlangsung panjang dan penuh dinamika hingga akhirnya terselenggara pada malam ini. “Ini anugerah indah, langkah awal untuk menemukan format terbaik festival teater perempuan di masa depan,” katanya.
Ia menegaskan, festival ini memiliki visi menjadikan perempuan sebagai subjek, bukan sekadar objek, dalam dunia seni pertunjukan. Dengan demikian, perempuan dapat bebas menyuarakan kegelisahan dan pemikirannya melalui panggung teater tanpa ragu atau canggung. “Kami berharap masukan, kritik, dan saran dari semua pihak agar festival ini terus berkembang dan sesuai dengan misi mengangkat budaya yang bertemakan perempuan,” tambahnya.
Festival tahun ini diikuti komunitas teater dari seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun jumlah peserta masih terbatas. Mereka mewakili masing-masing satu kota dan empat kabupaten di DIY. Yeni berharap pada penyelenggaraan berikutnya, lebih banyak komunitas teater perempuan dapat tampil dan memeriahkan panggung. (Dev)