Lembaga Waste4Change menyebut ekonomi hijau berfokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi untuk tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya alam yang ada serta keseimbangan ekologi agar berkelanjutan.
Sedangkan, ekonomi sirkular lebih berfokus pada optimalisasi penggunaan sumber daya, seperti memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan, sehingga mengubah pola produksi dan konsumsi seperti penggunaan dan pembuangan menjadi pola melingkar.
Sesuatu yang Tak Terpisahkan
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya menyebut ekonomi hijau dan ekonomi sirkular merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah. Ia menyebut ekonomi sirkular yang fokus dalam aspek produksi akan menjadi bagian dari ekonomi hijau.
“SDGs salah satunya adalah green consumption, mungkin paling gampang besarnya SDGs dengan 17 goals dan sustainable production salah satunya, jadi jangan dipertentangkan,†katanya.
Ekonomi sirkular itu sendiri terdiri dari 5R yakni reduce, reuse, recycle, refurbish dan renew. Berly menilai ekonomi sirkular berkaitan erat dengan waste management (pengelolaan limbah) dengan pemerintah kabupaten/kota sebagai penanggung jawab.
Namun sayangnya kapasitas pemerintah kota/kabupaten berbeda satu sama lain, sehingga pengelolaan sampah antar kota/kabupaten berbeda-beda. Pemerintah daerah dinilainya perlu mendorong masyarakat agar terbiasa dengan pengelolaan sampah yang dimulai dengan pemilahan sampah yang bisa didaur ulang, sampah plastik dan sampah kaca.
Pemilahan itu, ujar dia, harus dimulai dari masyarakat karena jika baru dipilah di ujung seperti Bantar Gebang maka biayanya akan lebih besar dan tidak seefisien jika dipilah dari awal.
Contoh ekonomi sirkular yang berkembang adalah penerapan extended producer responsibility atau tanggung jawab produsen yang lebih luas khususnya menyangkut sampah atau limbah. Sehingga, produsen juga turut bertanggung jawab untuk mendorong ekonomi sirkular dengan menerapkan produksi yang sirkular.
Berly menyebut produsen memiliki kewajiban untuk mengelola sampah sejak awal dengan mendesain barang yang diproduksi dengan menggunakan konsep sirkular. Komponen produk yang akan digunakan harus cukup mudah dan ekonomis untuk didaur ulang, sehingga penggunaan energi dan bahan dapat lebih hemat dan secara bahan dapat di reduce yang kemudian tidak cepat merusak alam.
Tak jauh berbeda dengan Berly, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai ekonomi sirkular dan ekonomi hijau saling beririsan dengan prinsip yang sama-sama berbasiskan kelestarian lingkungan. Bedanya, ekonomi sirkular lebih melibatkan masyarakat secara aktif untuk mengolah sampah.
Namun Hariyadi menilai bahwa saat ini pemerintah lebih berfokus kepada ekonomi hijau. Hal tersebut salah satunya terlihat pada pemberian insentif kepada renewable energy serta arah kebijakan yang jelas menuju net zero emission. Sedangkan insentif terhadap pengolahan sampah yang melibatkan masyarakat secara langsung belum terlihat.
Ia menilai bahwa seharusnya ada insentif berupa pajak serendah mungkin atau kalau bisa dinolkan. Kemudian dari sisi regulasi juga dapat dibuat seperti pengolahan oli bekas dan industri daur ulang bisa diberikan insentif yang maksimal sehingga masyarakat yang mengumpulkan oli bekas juga mendapat manfaat.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dengan adanya regulasi dan insentif yang lebih jelas termasuk cetak biru menuju ekonomi hijau, para pelaku usaha juga lebih bersemangat untuk terjun ke ekosistem ekonomi hijau.