Menurut Quraish Shihab, pilihan kata 'jalan' dalam Bahasa Arab beragam. Terdapat jalan setapak, jalan biasa, dan jalan lebar yang lapang.
Shirathal mustaqim bermakna jalan lebar dan lapang, bukan jalan sempit seperti rambut dibelah tujuh seperti yang menjadi anggapan banyak orang.
Shirath bermakna jalan yang lebar, lurus, lapang yang berasal dari kata ‘sharatha’ yang bermakna menelan. Maksudnya, jalan seakan-akan menelan yang berjalan karena sedemikan kecilnya. Mereka yang berjalan tidak berdesak-desakan walaupun berbeda.
Dengan demikian, 'ummataw wasathan', menurut Quraish Shihab dapat dimaknai juga umat yang memiliki sikap lapang dada sehingga menjadi umat pilihan dan umat paling baik di antara umat sebelumnya dan sesudahnya sehingga layak menjadi umat teladan.
Dengan sikap ini, maka umat Islam, dapat berlapang dada terhadap segala macam perbedaan yang berkembang di tengah umat beragama. Beragama dengan lapang ibarat kendaraan yang melaju di jalan tol bebas hambatan.
Setiap kendaraan yang berbeda-beda dapat melaju dengan kecepatan masing-masing menuju tujuannya. Jalan tol seperti menelan kendaraan di dalamnya yang bebas berlalu lalang karena sangat lebar.
Quraish Shihab mengatakan bersikap lapang dada seperti ummataw wasathan seperti juga masuk jalan tol yang memiliki prasyarat seperti pengemudi memiliki SIM, kendaraan dalam kondisi layak jalan, dan tentu memiliki e-tol dengan saldo yang memadai.
Umat Wasathan
Terdapat 3 prasyarat agar sikap yang lapang sebagai ciri umat wasathan dapat diterapkan pada umat Islam maupun bangsa Indonesia pada umumnya.
Pertama, memiliki ilmu pengetahuan agar dapat memahami bahwa agama, ilmu agama, dan beragama saling berkaitan tetapi berbeda. Agama bersumber dari Allah dan telah dijelaskan Allah melalui rasul sehingga sempurna dan tetap.
Berikutnya ilmu agama lahir dari pemahaman terhadap ajaran agama. Imam Syafi’i menjelaskan ilmu agama yang beliau pahami dari Al Quran dan sunnah.
Demikian pula Imam Malik menjelaskan ilmu agama yang dipahaminya dari Al Qur’an dan Al Hadist. Ilmu Agama lahir setelah muncul agama. Agama islam hanya satu, tetapi ilmu agama bermacam-macam. Ilmu agama oleh pencetusnya sendiri yang rendah hati misalnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa pendapatnya boleh jadi benar tetapi boleh jadi salah.
Sementara beragama merupakan praktek seseorang menyangkut agama dan ilmu agama. Contoh sederhananya adalah shalat itu agama, tetapi penjelasan shalat itu ilmu agama.
Beragama adalah praktik seseorang tentang agama berdasarkan pemahamannya. Dengan demikian seseorang yang membaca ‘bismillah’ secara keras dan menggunakan ‘qunut’ dalam salat adalah ajaran agama plus pengetahuan agama yang dipraktikkan. Sudah pasti praktik tersebut berbeda-beda.
Orang berilmu pengetahuan tidak akan menyamakan beragama, ilmu agama, dan agama. Jika seseorang berbeda dengan agama, maka dirinya dapat dinyatakan keluar dari agama.