Mengakselerasi penurunan emisi karbon memang suatu keharusan, namun cara untuk mencapai target karbon bersih pada tahun 2060 tidak harus sama.
Pemerintah Indonesia berpendapat dalam implementasi inisiatif transisi energi, tak ada solusi yang sama persis, mengingat setiap negara memiliki akses teknologi, kapasitas fiskal, dan realitas politik yang berbeda.
Oleh karena itu, hal ini menjadikan garis awal (start point) penerapan strategi dekarbonisasi, yang tidak mesti mengikuti rekomendasi dari negara-negara maju.
Indonesia berargumen bahwa pemerintahan di tiap negara mesti melihat lebih dalam potensi pengembangan elektrifikasi EBT yang ada di negaranya, dan sudah harus mulai berkomitmen untuk melakukan transisi energi listrik dari penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan.
Potensi pengembangan bauran EBT di Tanah Air mencapai 3.687 gigawatt, potensi ini terdiri atas pengembangan tenaga air (hidro) sebesar 95 gigawatt, tenaga surya 3.294 gigawatt, bioenergi 57 gigawatt, panas bumi (geotermal) 23 gigawatt, energi bayu atau angin 155 gigawatt, serta potensi elektrifikasi dari laut mencapai 63 gigawatt.
Salah satu pendekatan tersendiri yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan dekarbonisasi yakni dengan secara berangsur menaikkan target penggunaan bauran elektrifikasi EBT.
Seperti pada tahun 2040 yang menargetkan untuk menggunakan 62 gigawatt listrik melalui Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.
Cara ini dilakukan karena beban dasar (baseload) emisi per kapita Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju, yakni hanya 2 ton per kapita, sedangkan Amerika Serikat sebesar 14--15 ton per kapita.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia juga tengah aktif memanfaatkan potensi EBT dari sumber panas bumi, dengan mendorong penggunaannya melalui elektrifikasi, serta eksplorasi dengan pengeboran yang disiapkan oleh Pemerintah tanpa bantuan pihak lain (government drilling).
Bukti dari pendalaman potensi EBT yang dimiliki tersebut yakni dengan bertambahnya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berkapasitas 20 megawatt di Cisolok-Cisukarame, Jawa Barat, serta di Nage, Flores, Nusa Tenggara Timur dengan kapasitas elektrifikasi yang sama.
Kolaborasi capak profit
Selama ini, Indonesia merasa pemerintahan dan sektor swasta di dunia baru mau menginvestasikan dana dalam mengakselerasi dekarbonisasi apabila bisa langsung memproyeksikan keuntungan praktis yang didapat.
Padahal, Pemerintah Indonesia menilai permasalahan ancaman perubahan iklim tak akan pernah terselesaikan apabila seluruh elemen masyarakat global masih menghitung keuntungannya masing-masing.
Oleh karena itu diperlukan kolaborasi seluruh pihak tanpa harus mengedepankan keuntungan perekonomian, seperti halnya yang disuguhkan oleh Indonesia melalui peningkatan skema ASEAN Power Grid (APG) yang bertujuan untuk memacu interkonektivitas di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Skema ini dapat menjadi titik awal bagi negara-negara ASEAN untuk dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan dalam sektor listrik karena mendorong penerapan teknologi tepat guna untuk bauran EBT yang dilakukan secara gotong royong.