Beragama dengan lapang dada
oleh Destika Cahyana
Jakarta - Beragama di era banjir informasi terasa penuh hiruk pikuk. Diskusi agama yang semula di antara kalangan para ahli agama atau kelompok kecil dalam ruang terbatas merembet keluar ke arena publik.
Dampaknya di ruang publik seperti media sosial, setiap kelompok menyuarakan yang diyakininya seraya menyalahkan yang berbeda.
Jika hal ini tidak disikapi dengan baik, maka ruang publik dapat dipenuhi dengan kemarahan. Pihak yang disalahkan membantah.
Sebaliknya, pihak yang menyalahkan membantah kembali. Bantah-membantah itu dapat berujung pada kemarahan bahkan kekacauan (chaos).
Beragama terasa menjadi beban karena geregetan melihat pihak yang berbeda dan sebaliknya takut disalahkan oleh pihak yang berbeda.
Dampaknya dunia menjadi sempit karena beragama penuh ketakutan. Dibutuhkan cara pandang beragama yang dapat membantu keluar dari ketakutan di era sekarang.
Saat ini populer kembali istilah moderasi beragama. Frase itu berkembang dari istilah islam moderat yang merujuk pada islam pertengahan atau islam wasathiyah.
Apa, bagaimana, dan untuk apa moderasi beragama menjadi menarik untuk didiskusikan sebagai upaya mencari jalan keluar dari sempitnya cara beragama kebanyakan umat islam.
Kata 'moderasi' diambil dari bahasa Arab dengan akar kata wasathan dan turunannya wasathiyah dan ausatuha. Secara bahasa kata tersebut bermakna pertengahan, tetapi kemudian para ahli tafsir menjelaskan makna yang lebih luas seperti pilihan, paling baik, tepat, adil, dan teladan tergantung konteks pada kondisi dan situasi apa kata tersebut digunakan.
Ayat Al Qur'an yang paling sering menjadi landasan umat wasathan adalah QS Al Baqarah:143 yang artinya: "Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..."
Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, menjelaskan makna wasathan dengan mengaitkan pada ayat sebelumnya yaitu 142. Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut berhubungan dengan frase 'shirathal mustaqim' yang artinya:
"...Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (shirathal mustaqim).”