derap-nusantara

Kembuhung, kearifan lokal kurangi limbah makanan

Jumat, 22 November 2024 | 08:00 WIB
Ilustrasi - Lestarikan Tradisi Ngobeng. Nasi minyak khas Palembang dan lauk pauknya yang dihidangkan pada tradisi Ngobeng saat gelaran Kuto Besak Keraton Culinary Festival di Halaman belakang Museum S ( ANTARA/Antarasumsel.com/Feny Selly/Ag.)

 

Jakarta - Praktik pengawetan makanan sudah dilakukan masyarakat sejak zaman dahulu. Salah satu metode yang dikembangkan pada saat itu adalah proses fermentasi yang memanfaatkan berbagai macam mikrooganisme.

Metode pengawetan makanan tersebut masih banyak dipakai hingga saat ini, baik oleh masyarakat umum maupun industri.

Indonesia memiliki berbagai macam makanan hasil fermentasi seperti tempoyak (fermentasi durian), dadih (susu fermentasi khas Minang), tapai, hingga terasi. Salah satu makanan fermentasi yang dapat dijumpai di Sumatera Selatan yaitu Kembuhung, kuliner khas Suku Besemah di Kota Pagar Alam.

Kembuhung biasanya terbuat dari ikan sungai seperti ikan semah, ikan nila dan ikan mujair yang difermentasi dengan menambahkan nasi dan sedikit garam, serta didiamkan selama 7 hari dalam wadah yang tertutup rapat.

Selain itu, kembuhung dapat pula dibuat dari kerang air tawar dan tulang maupun daging sisa yang tidak habis dimakan. Cita rasa yang dihasilkan tidak terlalu berbeda. Kembuhung yang dibuat dari kerang maupun daging rasanya lebih gurih dibandingkan kembuhung berbahan dasar ikan.

Pembuatan kembuhung dari sisa-sisa daging ataupun tulang tersebut sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan penggunaan bahan makanan karena mendukung gerakan zero food waste yang kini banyak digaungkan.

Sebagai makanan hasil fermentasi, kembuhung memiliki bau khas yang sangat kuat. Selain itu, proses fermentasi yang melibatkan nasi dan ikan atau daging sisa tersebut menghasilkan tekstur dan warna yang kurang menarik, sehingga makanan tersebut sering kali disebut sebagai “nasi basi” oleh sebagian masyarakat.

Namun demikian, bagi para pecinta kembuhung, bau khas yang kuat tersebut merupakan salah satu alasan utama mengapa mereka menyukai kembuhung. Setelah dimasak dengan berbagai macam bumbu, aroma khas tersebut sangatlah menggoda selera dan menggoyang lidah para penggemarnya.

Sama halnya dengan ikan asin, ketika seseorang memasak kembuhung, aroma khasnya akan tersebar di sekitar rumah tersebut. Hal inilah yang mengundang rasa lapar bagi para pecintanya. Cita rasa asam dan gurih yang dipadukan dengan aroma khas tersebut dipercaya sebagai peningkat nafsu makan.

 

Selain itu, ikan maupun daging yang difermentasi bersamaan dengan nasi tersebut memiliki tekstur yang sangat lembut dan lunak, sehingga sangat mudah untuk dimakan.

Pengawet alami dalam kembuhung

Seperti makanan fermentasi lainnya, kembuhung dibuat melalui proses fermentasi yang melibatkan berbagai macam bakteri yang secara alami terdapat di dalam bahan-bahan yang digunakan. Mikroorganisme tersebut dikenal sebagai Bakteri Asam Laktat atau BAL, seperti Lactobacillus. BAL merupakan kumpulan bakteri yang mampu menghasilkan senyawa asam yang menghasilkan bau khas produk makanan hasil fermentasi.

Cairan asam yang dihasilkan dari proses fermentasi tersebut mempunyai kemampuan mengawetkan bahan makanan dengan baik. Senyawa asam dengan pH (derajat keasaman) 3 hingga 4 tersebut dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen atau penyebab penyakit pada bahan makanan. Sehingga, bahan makanan yang difermentasi tersebut aman dari bakteri patogen.

Halaman:

Tags

Terkini

BLTS menyentuh 28 juta penerima

Jumat, 12 Desember 2025 | 08:45 WIB

Internet Rakyat solusi akses jaringan murah

Jumat, 5 Desember 2025 | 11:29 WIB

Mencetak guru agama profesional dengan PPG

Jumat, 21 November 2025 | 08:15 WIB

Pupuk Subsidi Makin terjangkau

Jumat, 7 November 2025 | 08:30 WIB

Mewujudkan MBG aman dan menyehatkan

Jumat, 24 Oktober 2025 | 09:10 WIB

Menyiapkan Merauke sebagai lumbung pangan

Jumat, 10 Oktober 2025 | 15:41 WIB

Gerak cepat pemerataan MBG di Papua

Jumat, 26 September 2025 | 08:20 WIB