Penjualan retail juga merosot, seperti dialami sejumlah brand ternama, seperti Moncler, Gucci, dan Salvatore Ferragamo. Ketiga brand tersebut melaporkan penjualan mereka turun hingga 45 persen selama kuarter ketiga yang berakhir pada 30 September.
Sementara, LVMH melaporkan penjualan mereka turun 25 persen di Hong Kong dalam periode yang sama. Demi mengatasi krisis, mereka menugaskan staf penjualan mereka ke toko di China daratan. Para pembeli yang biasanya datang ke Hong Kong untuk berbelanja kini bisa membeli barang mewah itu di negara mereka.Â
Penjualan barang mewah di Hong Kong sebagian besar disumbang para pengunjung internasional dan mereka yang berasal dari Tiongkok. Jumlahnya mencapai 70 persen dari total pembelian.
Properti komersial Hong Kong termasuk yang termahal di dunia. Itu pula yang jadi alasan demo Hong Kong tak berkesudahan berdampak signifikan pada penjualan produk mewah.
Tak hanya Louis Vuitton yang mengumumkan penutupan salah satu tokonya. Label fesyen asal Italia, Prada, juga mengonfirmasi akan mengakhiri sewa cabang utamanya di Causeway Bay pada Juni 2020.
Merespons hal itu, pemilik tanah mengumumkan akan menurunkan biaya sewa bulanan 44 persen lebih rendah dari 9 juta dolar Hong Kong pada penyewa berikutnya. Sikap serupa juga ditunjukkan Swire Properties, pemilik mal Pasific Place di Admiralty, dan Hong Kong Land, pemilik Mal Landmark di Central.
Dengan hengkangnya Louis Vuitton dari mal mewah itu, diduga akan berpengaruh pada keberadaan brand mewah lain di bawah LVMH, seperti Dior, Fendi, Celine, dan Givenchy. Sebagai leader, Louis Vuitton akan jadi penentu tren ke depan, tak hanya soal fesyen, tapi juga strategi retail dan bisnis. (*)