KRjogja.com - SEMARANG - Sejarah panjang sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia mengikuti perjalanan tahu gimbal, kuliner khas Semarang yang terbuat dari tahu dan ragam racikan ini. Makanan ini awalnya muncul sebagai alternatif pangan saat bahan makanan sulit diperoleh dan kini menjadi salah satu ikon kuliner kota lumpia.
Mengutip dari berbagai sumber, pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), masyarakat Indonesia mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Bahan makanan seperti daging dan ikan menjadi langka akibat kebijakan ekonomi perang.
Warga di Semarang mulai berkreasi dengan bahan yang tersedia, yaitu tahu dan tepung, untuk membuat hidangan. Tahu gimbal tercipta sebagai solusi atas keterbatasan tersebut.
Tahu, yang mudah didapat dan murah, dipadukan dengan adonan tepung berbumbu yang digoreng. Makanan ini memberikan asupan protein dan karbohidrat sekaligus.
Tahu gimbal terdiri dari tahu putih yang dipotong kotak, dicelupkan ke dalam adonan tepung terigu berbumbu, lalu digoreng. Adonan tepung biasanya dibumbui dengan bawang putih, ketumbar, dan garam, memberikan cita rasa gurih yang khas.
Beberapa versi menyertakan udang atau irisan kol dalam adonan. Setelah digoreng, tahu gimbal disajikan dengan saus kacang, kecap manis, dan irisan kol segar.
Baca Juga: Alarm Masa Depan
Beberapa penjual menambahkan lontong atau ketupat sebagai pelengkap. Setelah masa pendudukan Jepang berakhir, tahu gimbal berkembang menjadi kuliner khas Semarang.
Pada tahun 1950-an, makanan ini mulai dijajakan oleh pedagang kaki lima di sekitar Simpang Lima dan daerah Pecinan Semarang. Seiring waktu, muncul variasi penyajian.
Beberapa penjual menambahkan telur ke dalam adonan, sementara yang lain menyajikannya dengan sambal khas atau bumbu kacang. Saat ini, tahu gimbal telah menjadi salah satu kuliner bagi wisatawan yang berkunjung ke Semarang.
Baca Juga: Tim Densus 88 Antiteror Polri Dalami Ancaman Bom Kedua Pesawat Saudia Airlines
Pemerintah Kota Semarang memasukkan tahu gimbal dalam daftar kuliner khas Semarang. Festival kuliner rutin digelar untuk memperkenalkan makanan ini, sekaligus mengingat akan asal-usulnya di masa sulit pendudukan Jepang.(*)