JAKARTA, KRJOGJA.com - Guna mengatasi penyakit menular dan kerjasama 6 riset, pemerintah Ingris dan pemerintah Indonesia gelontorkan Rp 37 Milyar.
"Jadi semua Rp37 miliar untuk enam penelitian terbaik mengenai penyakit menular seperti tuberkulosis, HIV, demam berdarah, dan malaria,
Demikian disampaikan Menristekdikti Mohamad Nasir dan Duta Besar Ingris untuk Indonesia. ASEAN, dan Timor Leste Moazzam Malik ,di Menristekdikti Jakarta,Senin (13/5 2019)
Dalam kerja sama berjangka tiga tahun itu, Inggris menyalurkan dana Rp32 miliar, dan Indonesia menyiapkan dana Rp5 miliar.
"Hasil kolaborasi ini akan meningkatkan ketahanan dan kesiapan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang mematikan, termasuk melalui intervensi kebijakan maupun pengembangan teknologi farmasi dan inovasi alat medis," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir. Enam penelitian terbaik yang mendapat pendanaan riset merupakan hasil proses seleksi terbuka yang dilakukan oleh tim pengkaji dari Indonesia dan Inggris terhadap 22 proposal penelitian yang masuk.
Pendanaan riset dalam program itu antara lain diberikan untuk penelitian Dr Anom Bowolaksono dari Universitas Indonesia dan Dr Peter Barlow dari Edinburgh Napier University (Inggris) untuk menguji apakah molekul cathelicidins yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dapat dimodifikasi untuk memerangi demam berdarah.
Sementara Dr Isra Wahid dari Universitas Hasanuddin dan Dr Janet Cox-Singh dari University of St Andrews di Inggris mendapatkan pendanaan untuk meneliti peran interaksi binatang dan manusia dalam penyebaran penyakit menular seperti malaria di pedalaman Sulawesi; dan Profesor Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Dr Keerti Gedela dari University of Chelsea & Westminster Hospital NHS Foundation Trust menerima pendanaan untuk meneliti upaya pencegahan HIV yang inovatif.
Selain itu pendanaan diberikan untuk penelitian mengenai diagnosis dini dan pengawasan selama masa pengobatan tuberkulosis di Bandung yang dilakukan oleh Profesor Ida Parwati dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Profesor Taane Clark dari the London School of Hygiene & Tropical Medicine.