KLATEN, KRJOGJA.com – Secara periodik, sejak tahun 1886 Kabupaten Klaten pernah mengalami beberapa kali gempa besar. Pada tahun 1886 terjadi gempa berkekuatan 7 SC,  tahun 1943 gempa dengan kekutan 6,8 SC, dan tahun 2006 kembali terjadi gempa dengan kekuatan 5,9 SC.
Hal itu dikemukakan pakar geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr. Eng. Ir. Didit Hadi Barianto ST. MSi, yang juga  Kepala Stasiun Lapangan Geologi Prof. R Soeroso Hadiprawiro di Kecamatan Bayat, pada acara sosialisasi potensi ancaman dan mitigasi bencana gempa bumi,yang diselenggarakan BPBD Klaten di Pendapa Pemkab setempat, Selasa (7/6/2022).
Dalam kegiatan yang dimoderatori Sekretaris BPBD Klaten, Dr. Nur Tjahyono. S.Sos. MPP. M.Eng tersebut, lebih lanjut Didit menjelaskan, dari catatan sejarah, saat gempa tahun 1886 terdapat lima korban meninggal yakni warga Belanda. Pada gempa tahun 1943 terdapat enam korban meninggal, yakni lima warga Belanda dan satu warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Belanda tersebut.
“Pada dua kejadian itu yang meninggal semuanya warga Belanda, karena mereka tinggal di rumah tembok. Sedangkan warga Indonesia kala itu masih tinggal di rumah-rumah dari anyaman bambu yang justru tahan gempa,†kata Didit.
Sedangkan pada tahun 2006, korban meninggal mencapai sekitar 5.700 orang dan semuanya warga negara Indonesia. Hal ini dikarenakan hampir semua warga sudah tinggal di rumah tembok yang sangat rawan ambruk saat terjadi gempa.
“Meninggalnya bukan karena gempa, tetapi karena tetimpa bangunan yang ambruk. Gempa tak membunuh manusia, tetapi bangunan roboh dan kepanikan. Untuk itu perlu regulasi terkait bangunan tahan gempa. Sejak tahun 1820 Kabupaten Klaten sudah menjadi obyek penelitian para ahli bumi di dunia,†jelas Didit.
Adapun tindak lanjut kegiatan ini yaitu penetapan zonasi daerah rawan gempa di Kabupaten Klaten. Kegiatan ini juga sebagai penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal. (Sit)