KARANGANYAR, KRJOGJA.com - Kraton Yogyakarta menggelar hajat dalem Labuhan Alit di puncak Gunung Lawu, Karanganyar, Senin (15/3/2021). Ubo rampe yang dilabuh berupa kain batik Kasepuhan dan Kanoman serta apem.
Sebelum labuhan diberangkatkan, abdi dalem Kraton Yogyakarta menunjukkan uba rampe ke Pemkab Karanganyar lalu menyerahkannya ke juru kunci Gunung Lawu di Rumah Dinas Bupati Karanganyar, Minggu (14/3/2021).
Juru Kunci Gunung Lawu dari Kraton Yogyakarta, KRT Rinto Isworo mengatakan labuhan di Gunung Lawu merupakan upacara adat sebagai wujud rasa syukur juga sebagai upaya permohonan kepada Tuhan dengan cara melarung atau meletakkan barang-barang tertentu di tempat keramat. Prosesi ini dalam rangka peringatan naik tahta raja Kraton Yogyakarta.
“Fungsinya kecuali sebagai panuwun-panyuwun juga napak tilas serta memayu hayuning bawana, artinya melestarikan keseimbangan alam. Napak tilas dilakukan di tempat-tempat labuhan, tempat bersejarah, tempat untuk bertapa, atau berlaku prihatin dari pendiri Mataram yaitu Panembahan Senopati,†kata KRT Rinto Isworo.
Dijelaskannya, ubo rampe kasepuhan berupa kain motif batik dengan nama Kampuh Poleng, Dhesthar Bangutulak, dan peningset jingga masing-masing satu lembar. Sedangkan ubo rampe Kanoman adalah Nyamping Cangkring, Nyamping Gadhung, Nyamping Teluhwatu, Semekan Dringin, Semekan Songer masing-masing 1 lembar, Sela, Ratus, Lisah konyoh satu bungkus dan yatra tindih.
Sementara apem merupakan simbol dari wujud meminta ampun kepada Tuhan. Seperti asal kata ‘Apem’ yang berasal dari bahasa Arab ‘afuwwun’ yang berarti pengampunan. Usai diserahkan kepada juru kunci Gunung Lawu, Ubo rampe Labuhan Gunung Merapi akan disemayamkan terlebih dahulu di Padepokan Nano Tawangmangu.
“Kami ada 6 abdi dalem yang resmi diutus untuk membawa ubo rampe. Namun ada pula abdi dalem dari bagian lain di kraton yang ikut serta,†kata KRT Rinto Iswara.
Sementara itu, Camat Tawangmangu, Rusdiyanto mengatakan, abdi dalem juru kunci Gunung Lawu akan melanjutkan proses Labuhan Gunung Lawu ini pada Senin pagi.
“Sekitar sebelum subuh sudah berangkat. Diharapkan saat Dhuhur atau kalau tidak saat Ashar sudah selesai. Sehingga saat turun gunung tidak sampai waktu malam. Tiap tahun digelar sebagai simbol budaya yang patut dilestarikan,†kata Rusdiyanto. (Lim)