Kontroversi Ahmad Sahroni dan Senjata Api: Antara Regulasi, Privilese, dan Integritas Pejabat Publik

Photo Author
- Rabu, 10 September 2025 | 15:40 WIB
Putri Nurhaliza Anugerah Setya, Safira Ayu Tri Ariyani, Himmaturrahmah, Wulandari Widodo, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Putri Nurhaliza Anugerah Setya, Safira Ayu Tri Ariyani, Himmaturrahmah, Wulandari Widodo, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

KRjogja.com - Kontroversi seputar Ahmad Sahroni kian meruncing ketika publik dikejutkan oleh beredarnya video singkat yang memperlihatkan penemuan senjata api laras panjang di kediamannya. Sebelumnya, Sahroni sudah menuai kritik tajam akibat pernyataannya yang menyebut massa yang melakukan demonstrasi “tolol”.

Dalam kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara pada Jumat, 22 Agustus 2025, Anggota DPR RI yang kini duduk di Komisi I itu mengatakan: “Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak, bodoh semua kita.” Pernyataan ini dengan cepat memicu kemarahan publik di media sosial.

Polemik semakin memanas ketika Sahroni meninggalkan tanah air untuk bepergian ke luar negeri, sementara rumahnya di Tanjung Priok justru dikabarkan dijarah oleh pihak tak dikenal. Dari peristiwa itu, publik disuguhi rekaman video yang memperlihatkan senjata api laras panjang beserta dokumen surat izinnya. Kehadiran surat izin tersebut menimbulkan perdebatan baru: apakah kepemilikan senjata api dengan spesifikasi semacam itu benar-benar sah dan sesuai regulasi?

Di Indonesia, kepemilikan senjata api memang diatur sangat ketat. Warga sipil hanya boleh memiliki senjata api laras pendek, seperti pistol atau revolver, itupun semata untuk kepentingan bela diri. Sementara, senjata api laras panjang sangat terbatas dan sangat ketat untuk penerbitan izinnya untuk kepemilikan dan penguasaan senjata api laras panjang, umumnya hanya bagi atlet menembak atau olahraga berburu dengan mekanisme izin khusus. Regulasi ini dimaksudkan agar kepemilikan senjata tidak keluar dari fungsi keamanan atau olahraga, dan tidak bergeser menjadi simbol status ataupun gaya hidup.

Di titik ini, muncul pertanyaan besar: Siapa Ahmad Sahroni dan mengapa kepemilikan senjata api olehnya menjadi isu penting? Sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan, Sahroni berada pada posisi yang menuntut keteladanan dalam menaati aturan. Fakta bahwa dirinya memiliki senjata api laras panjang, meskipun disertai surat izin, justru memunculkan keraguan di masyarakat mengenai konsistensi pejabat publik dalam menegakkan hukum. Apakah izin tersebut diperoleh melalui prosedur sebagaimana mestinya, ataukah ada privilese politik yang bermain di baliknya?

Kepemilikan senjata api oleh seorang pejabat legislatif jelas bukan perkara sepele. Isu ini menyangkut kepercayaan publik, transparansi, serta integritas lembaga negara. Dari sisi regulasi, dasar hukum kepemilikan senjata api sipil diatur dalam berbagai undang-undang, mulai dari UU No. 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api. , UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang melarang kepemilikan senjata api tanpa izin dan ancaman pidana berat , hingga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Polri berwenang mengatur izin senjata api). Secara teknis, aturan dijabarkan lebih lanjut dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2012 khusus untuk kepemilikan senjata api olahraga (menembak sasaran, reaksi, berburu, airsoft). dan Perkapolri No. 18 Tahun 2015 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Non organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia Unuk Kepentingan Bela Diri.

Namun di sinilah letak kejanggalannya: Perkap memang memberi peluang bagi sipil tertentu untuk memiliki senjata api, tapi implementasi dan pengawasannya kerap dipertanyakan, terlebih bila menyangkut pejabat publik.

Tanggung jawab penuh terkait izin dan pengawasan ada di tangan Polri. Jika benar surat izin khusus senjata api atas nama Sahroni hanya berlaku sampai 24 Juli 2019, maka Polri seharusnya memastikan senjata tersebut diserahkan kembali atau dilakukan perpanjangan sesuai ketentuan. Fakta bahwa senjata masih ditemukan di rumah Sahroni pada 2025 menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi pengawasan aparat.

Dokumen yang beredar menyebut jenis senjata tersebut adalah Pioneer Arms kaliber .22 LR—sebuah senjata api olahraga yang bentuknya menyerupai AK-101. Secara klasifikasi, senjata ini memang masuk kategori sipil dan bisa dimiliki dengan izin sah. Tetapi masalah muncul ketika masa izinnya kedaluwarsa. Jika benar tidak diperpanjang, maka statusnya berubah menjadi ilegal dan berpotensi melanggar UU Darurat No. 12 Tahun 1951. Publik makin penasaran karena hingga kini belum ada pernyataan resmi dari kepolisian maupun pejabat publik tersebut yang diketahui menguasai dan memiliki senjata tersebut. Apakah Sahroni pernah mengajukan perpanjangan izin? Apakah Polri lalai dalam pengawasan? Atau ada perlakuan khusus yang diberikan karena posisinya sebagai elite politik? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab.

Dalam perjalanan politiknya, Sahroni dikenal sebagai politisi NasDem yang mulai berkarier sejak 2013. Ia terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2014 dan sejak 2019 menduduki posisi strategis sebagai Wakil Ketua Komisi III. Ia pernah mendorong amandemen UU Narkotika agar pengguna mendapat rehabilitasi, mendukung RUU TPKS, hingga mendesak pengungkapan ulang kasus pelecehan seksual di Luwu Timur. Namun, kini rekam jejak tersebut dibayang-bayangi kontroversi kepemilikan senjata api.

Kasus yang melibatkan Ahmad Sahroni dinilai problematis, bukan semata terkait kepemilikan izin senjata api, melainkan juga menyangkut bagaimana seorang pejabat publik menempatkan diri dalam kerangka aturan yang telah ditetapkan secara ketat. Apabila benar bahwa izin kepemilikan senjata tersebut telah berakhir sejak 2019, maka secara hukum status senjata itu otomatis menjadi ilegal. Persoalan ini merupakan ujian bagi instansi kepolisian dalam hal penanggulangan dan pengawasan ketat peredaran senjata api baik yang memiliki izin maupun yang tidak memiliki izin (ilegal), sebab kepemilikan senjata api tanpa izin jelas berimplikasi pidana, memicu pergerakan separatis dan perilaku-perilaku koboi jalanan yang tentunya akan mengganggu keamanan Indonesia dan khususnya bagi kehidupan masyarakat. Lebih jauh, bagi seorang pejabat publik, situasi tersebut menimbulkan sorotan yang mencengangkan, mengingat mereka seharusnya memberikan teladan dalam ketaatan terhadap hukum.

Aspek lain yang memperumit persoalan adalah jenis senjata yang dimiliki dan izin yang telah kedaluwarsa terlebih lagi situasi pada saat itu ditemukan oleh massa penjarah rumah pejabat tersebut, apa jadinya apabila senjata tersebut diambil oleh massa penjarah dan disalahgunakan oleh orang yang tidak tepat. Meskipun Pioneer Arms kaliber .22 LR disebut sebagai senjata olahraga, bentuk dan spesifikasinya senjata serbu laras panjang yang biasa digunakan dalam lingkungan militer. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dengan semangat supremasi hukum yang mengedepankan persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), yang pada dasarnya tidak memberikan ruang bagi warga sipil termasuk pejabat publik untuk memiliki senjata semacam itu. Dengan demikian, meskipun kepemilikan awalnya sah, pilihan jenis senjata tetap dianggap janggal dan menimbulkan polemik.

Di sisi lain, tanggung jawab dalam kasus ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada Ahmad Sahroni. Kepolisian sebagai institusi pemberi izin juga memiliki kewajiban untuk memastikan pengawasan yang ketat, terlebih apabila masa berlaku izin telah kedaluwarsa. Apabila terdapat kelalaian, wajar jika publik mempertanyakan integritas lembaga penegak hukum tersebut. Selain itu, posisi Sahroni sebagai pejabat publik menjadikan partai politik dan lembaga legislatif yang menaunginya menjadi sorotan publik, karena publik cenderung menilai kasus ini tidak hanya terkait individu, melainkan juga institusi di belakangnya.

Dengan demikian, kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk mempertegas kembali aturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Celah regulasi tidak boleh dibiarkan terbuka, terlebih bagi individu yang memiliki kedudukan atau kekuasaan. Prinsip penegakan hukum yang adil menuntut agar setiap pelanggaran, baik oleh warga biasa maupun pejabat publik, diperlakukan sama di hadapan hukum.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

UMJ Perlu Melangkah ke Universitas Kelas Dunia

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:15 WIB
X