KRJogja.com - SLEMAN - Budayawan senior, Taufik Rahzen, hadir sebagai salah seorang narasumber dalam puncak perayaan HUT ke-40 BPPM Balairung, Sabtu (1/1).
Pada kegiatan bertajuk "Reorientasi Pers Mahasiswa: Menyuarakan Suara yang Terpinggirkan" di Gedung Fisipol UGM itu, Taufik memaparkan hal menarik.
Baca Juga: MR UII Cetak Generasi ‘Engineering Leader’
Sebagai budayawan yang sekaligus penulis kawakan, Taufik mengenang masa-masa perjuangannya di BPPM Balairung dulu.
Sosok kelahiran Sumbawa itu bercerita tentang bagaimana pers mahasiswa (persma) di tahun 80-an hingga 90-an tampil mengemuka di gelanggang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia mengenang perjumpaannya dengan Edward Said, profesor berdarah Palestina yang besar dan masyhur di Amerika.
Baca Juga: Warga Yogyakarta Sambut Antusias Screening Film Horor 'Sosok Ketiga: Lintrik'
"Saya beruntung pernah berjumpa dengan Edward Said sebelum dia meninggal," kenang Taufik haru.
Kenangannya terhadap perjumpaan dengan Edward Said bermula dari komentarnya terhadap pidato salah satu awak BPPM Balairung.
Dalam pidato tersebut, nama Edward Said sebagai "pelempar batu" dipinjam untuk menjadi refleksi persma.
Lebih lanjut, Taufik memaparkan secara gamblang tentang progresivitas pers dari masa ke masa.
Bagi penulis "Kronik Kebangkitan Indonesia 1913-1917" itu, sejarah Indonesia tak pernah bisa lepas dari pers.
Sebagai sebuah masyarakat bayangan (imagined community), perslah saka guru pembangunan.
"Negara ini dibentuk oleh pers!" tegas Taufik dengan suara serak lantang.