SEMARANG (KRjogja.com)- Pengeringan merupakan tahap menentukan dalam pengolahan produk bahan pangan. Peranan teknologi pengeringan semakin strategis dalam kehidupan manusia dimana pola konsumsi masyarakat modern menyebabkan permintaan produk makanan dan minuman dalam bentuk kering ataupun ekstrak kering bermutu hampir sama atau sama dengan kondisi naturalnya mengalami peningkatan signifikan.
Tercatat banyak aneka produk makanan instan atau ekstrak kering beredar di pasaran mulai dari ekstrak minuman, sari buah, mi instan (cepat saji), sayuran kering, ekstrak jamu dan bahkan suplemen.
Â
“Namun saat ini teknologi pengeringan masih terkendala rendahnya kualitas produk akibat terdegradasinya kandungan nutrisi, vitamin, dan bahan aktif akibat intervensi suhu yang tinggi. Sebagai contohnya produk menjadi browning (berubah warna menjadi coklat), karbonasi (sehingga warna jadi hitam), de-naturasi protein, perubahan fisik dan kimia karena reaksi enzimatis, penguapan (untuk bahan aktif yang mudah menguap), serta karamelisasi (kerusakan gula, glukosa, dan turunanannya menjadi karamel)†ujar dosen Teknik Kimia Undip Prof Dr Mohamad Djaeni ST MEng saat pidato pengukuhan menjadi guru besar di Undip yang dipimpin Rektor Undip Prof Dr Yos Johan Utama MHum, Selasa (26/7).
Â
Kendala lain teknologi pengeringan karena borosnya penggunaan energi dalam proses ini. Untuk pengolahan bahan pangan, lebih dari 50% total energi proses hanya digunakan untuk pengeringan, sedangkan untuk pasca panen kebutuhan energi bahkan mencapai porsi 70% dari seluruh rangkaian proses. Ini disebabkan tidak efisiennya sistem pengeringan.
Saat ini, efisiensi energi sistem pengering berkisar 30 - 60%, yang berarti energi yang harus disediakan 2 - 3 kali dari kebutuhan riilnya. Dengan jumlah sebesar itu, proses pengeringan menyerap 20 - 30% dari biaya operasi pengolahan produk. (Sgi)