KRjogja.com - YOGYA - Yogyakarta, yang dijuluki sebagai Kota Wisata di Indonesia berkat berbagai destinasi wisata yang menarik. Namun, di tengah popularitasnya, salah satu provinsi yang menyandang gelar Daerah Istimewa di Indonesia ini sedang menghadapi tantangan serius terkait pengelolaan sampah. Tingginya konsumsi bahan rumah tangga dan industri yang tidak terkendali memperburuk masalah sampah di Yogya.
Penutupan TPA Piyungan pada Juli 2023 menambah kerumitan, menciptakan kondisi krisis hingga status darurat sampah di Yogya. Akibatnya, terjadi pencemaran lingkungan, kerugian ekonomi, dan gangguan kesehatan bagi warga setempat. Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat Yogya akan pentingnya menjaga lingkungan dan mengelola sampah dengan baik.
Berita mengenai sampah di Yogya terus bermunculan setiap harinya, hingga baru-baru ini pada artikel yang di akses melalui krjogja.com edisi Rabu, 5 Juni 2024 mengenai Pasar Demangan di Yogya menjadi viral di media sosial karena tumpukan sampah yang menggunung hingga mencapai pembatas jalan.
Sampah yang menumpuk tersebut tidak hanya mencemari lingkungan tetapi juga mengganggu aktivitas sehari-hari di sekitar pasar. Masalah tumpukan sampah di DIY termasuk kabupaten-kabupatennya menciptakan dilema kompleks bagi banyak pihak. Salah satunya adalah sektor rumah tangga yang terpaksa mengambil langkah kurang tepat dengan membakar sampah tanpa prosedur yang benar. Praktik ini memiliki dampak yang lebih besar daripada manfaatnya, karena menghasilkan emisi beracun yang mencemari udara.
Baca Juga: Tips Menghindari Batuk Pilek Jelang Kepulangan Haji: Waspadai Gejala dan Tingkatkan Daya Tahan Tubuh
Gas dan partikel berbahaya yang dilepaskan selama pembakaran dapat merusak kualitas udara dan meningkatkan risiko penyakit pernapasan serta masalah kesehatan serius lainnya bagi penduduk setempat. "Yogya darurat sampah" harus menjadi panggilan urgensi bagi pemerintah daerah, masyarakat lokal, sektor industri, dan pariwisata untuk bersatu mendukung upaya masif dan strategis dalam menangani masalah sampah di Yogya.
Jika ditinjau dari sisi Business Ethics for Sustainability, fenomena dilema etis seperti ini dapat diamati dari perspektif teori utilitarianism, bahwasanya praktik pembakaran sampah dapat dianggap tidak etis karena bertentangan dengan prinsip-prinsip utama utilitarianism yang menekankan pada suatu tindakan dikatakan etis apabila mencakup keselamatan dan kebahagiaan sebanyak mungkin bagi sebanyak mungkin orang. Dalam fenomena ini, pembakaran sampah menghasilkan dampak negatif yang signifikan bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Emisi beracun yang dihasilkan dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kesehatan lainnya, yang merugikan banyak orang yang terkena dampaknya. Dengan demikian, tindakan ini tidak konsisten dengan prinsip utama utilitarianism untuk memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Selain itu, pembakaran sampah juga memiliki dampak negatif yang luas terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Polusi udara, tanah, dan air yang dihasilkan oleh pembakaran sampah dapat merusak habitat alami, mengurangi keanekaragaman hayati, dan bahkan mengancam ketersediaan sumber daya alam yang penting bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya.
Dalam konteks utilitarianisme, tindakan ini tidak dapat dibenarkan karena mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan jangka panjang bagi keuntungan sementara yang diperoleh dari pembakaran sampah.
Baca Juga: Pindah ke Madinah, Jemaah Haji Diimbau Utamakan Ziarah Raudah
Selain itu, rights and justice theory juga dipandang sangat relevan dalam menganalisis kasus darurat sampah di Yogyakarta dan praktik pembakaran sampah yang tidak etis. Teori ini menekankan pentingnya menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, serta hak atas kesehatan. Praktik pembakaran sampah merugikan kesehatan masyarakat dengan melepaskan polutan berbahaya ke udara, yang melanggar hak- hak ini. Selain itu, justice theory ini menggarisbawahi distribusi beban dan manfaat yang dapat dirasakan secara adil dalam masyarakat.
Dalam kasus ini, dampak negatif dari pembakaran sampah lebih banyak dirasakan dibandingkan dengan manfaat pada masyarakat yang tidak melakukan pembakaran sampah yang mana mengartikan adanya ketidakadilan dalam distribusi beban. Dengan demikian, dari perspektif rights and justice, praktik pembakaran sampah ini tidak dapat dibenarkan karena melanggar hak-hak dasar individu dan menciptakan ketidakadilan sosial.
Terkait dengan masalah darurat sampah di Yogyakarta, solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan yang dapat diadopsi adalah dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Salah satu contoh yang dapat diadopsi adalah TPS Go Sari di Bantul, yang telah menunjukkan praktik pengelolaan sampah yang terorganisir dan efisien dengan mengusung konsep zero waste. TPS Go Sari di Bantul menerapkan sistem pengelolaan sampah yang komprehensif, termasuk pemisahan sampah organik dan anorganik sejak awal. Sampah organik diolah melalui proses pengomposan, yang tidak hanya mengurangi volume sampah tetapi juga menghasilkan kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk alami.
Di sisi lain, sampah anorganik diproses menggunakan teknologi daur ulang, sehingga bahan-bahan yang masih bernilai ekonomis dapat dipulihkan dan digunakan kembali. Melalui pendekatan zero waste, TPS Go Sari bertujuan untuk meminimalkan jumlah sampah yang akhirnya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).