kampus

Mengupas Perang Batin Lulusan SMA: Dari Overthinking Jurusan hingga Risiko 'Mahasiswa Setengah Hati'

Minggu, 14 Desember 2025 | 11:01 WIB
Ilustrasi. (Shutterstock)

KRjogja.com - Bagi banyak siswa, momen kelulusan diasosiasikan dengan kelegaan dan euforia. Namun, bagi ribuan anak muda di Indonesia, fase ini justru memicu perang batin yang masif. Rasa bimbang dalam diri bukan sekadar perihal memilih, melainkan pergulatan emosi yang didorong oleh ketakutan akan salah langkah dan kegagalan.

Dimulai jauh dari sebelum ujian, overthinking pemilihan jurusan membuat para siswa berkelahi dengan pikirannya. Antara realistik dan idealis selalu menghantui setiap langkah dan membuat proses memilih jurusan terasa lebih melelahkan daripada belajar itu sendiri. Perang batin berlanjut dan memuncak setelah pengumuman kelulusan yang berakhir memaksa mereka memilih salah satu dari tiga jalur berat, yaitu langsung kuliah, mengambil gap year penuh, atau menjadi “Mahasiswa Setengah Hati” yang dikenal dengan sebutan semi-gap year.

Syakina Jihan, salah satu mahasiswa yang menjalani semi-gap year, menjelaskan pilihan ini dengan gamblang. “Ya, istilahnya sekarang masuk ke universitas pilihan kedua dulu yang realistis. Tahun depan coba strategi lebih oke buat universitas yang idealis,” jelasnya, Jumat (5/12/2025).

Bagi banyak lulusan Sekolah Menengah Atas, pilihan bukan lagi tentang minat, melainkan tentang bertahan di tengah persaingan yang kejam. Fakta persaingan yang menakutkan ini bukanlah risiko yang bisa disepelekan. Saat konferensi pers pengumuman SNBT 2025, Ketua umum Panitia SNPMB, Eduart Wolok, menyampaikan data yang menunjukkan tingginya risiko kegagalan pada penerimaan jalur SNBT. Dari total 829.790 peserta UTBK, yang dinyatakan lulus hanya 253.421 peserta. Dengan daya tampung total 284.380, persentase peserta yang diterima hanya mencapai 29,43%, Selasa (27/5/2025).

“Artinya yang terterima dari jumlah peserta itu hanya hampir 30%. Lebih dari 70% itu tidak diterima,” ujar Eduart Wolok. Angka ini memaksa mereka untuk lebih mengutamakan pilihan yang realistis demi menghindari risiko bergabung dengan hampir 600.000 yang belum diterima.

Tekanan yang diciptakan oleh angka-angka kompetitif inilah yang memaksa banyak siswa untuk membuat rencana yang jauh dari kata ideal. Pilihan utama mereka, menggapai mimpi idealis di kampus dan jurusan impian, terasa semakin tidak realistis karena ketatnya persaingan. Sementara pilihan cadangan yang sedikit lebih realistis, seringkali membuat mereka berpikir keras tentang beratnya ikhlas terpaksa saat menjalaninya kelak.

Chayriya Shellyma, misalnya, memilih Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang ia bimbangkan. Ia harus mengorbankan mimpinya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada karena persaingan di fakultas tersebut sangat ketat. Rasio persaingan di Fakultas Psikologi UGM mencapai sekitar 53:1, dengan daya tampung 68 kursi berbanding 3.601 pendaftar, berdasarkan data resmi UGM, Kamis (16/1/2025). Angka inilah yang membuatnya harus mengutamakan pilihan yang lebih realistis.

Kompromi untuk mengambil jurusan yang kurang diminati, seperti yang dilakukan Shellyma, hanyalah salah satu respons terhadap ketatnya persaingan. Ada pula lulusan yang memilih kompromi yang lebih rumit, yaitu menjadi mahasiswa setengah hati atau semi-gap year. Mereka menghadapi risiko ganda yang sudah pasti menguras fisik dan mental.

Syakina Jihan, yang menjalani semi-gap year dan sudah berada di bangku kuliah, menjalani perang ganda yang menuntut keahlian beraktingnya. Ia menjadi mahasiswa Ilmu Politik di siang hari dan akan menjadi pejuang UTBK di malam hari. “Yang bikin capek itu aktingnya. Aku kaya harus enjoy gitu di kampus, padahal ya capek juga belajar penalaran kuantitatif SNBT habis ngerjain tugas matkul di jam 2 pagi,” ungkap Syakina, Jumat (5/12/25).

Dalam banyak kasus, konflik biaya kuliah menjadi beban mental terbesar bagi mahasiswa semi-gap year. Namun, Syakina Jihan berhasil merasionalkan keputusannya bersama orang tua. Saat ini ia mengincar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan strategi ini dilihat sebagai investasi yang layak karena prospek karier di jurusan impiannya jauh lebih baik. “Sedikit ada (rasa bersalah), tapi sebelumnya juga udah di obrolin baik-baik sama orang tua. Akhirnya orang tua setuju karena prospek kerja jurusan hukum emang lebih baik daripada ilmu politik,” jelas Syakina, Jumat (5/12/2025).

Namun, pilihan ini menuntut taktik survival yang kuat dan berisiko tinggi. Waktu luang yang dimiliki mahasiswa baru sangat minim bukan hanya karena jadwal kuliah yang bentrok dengan jadwal les belajar UTBK, melainkan juga karena fase awal perkuliahan yang menuntut adaptasi masif bagi para mahasiswa baru. Mulai dari tugas ospek hingga penyesuaian diri di lingkungan baru. Hal ini mendefinisikan bahwa menjadi mahasiswa semi-gap year adalah pengorbanan serius yang didorong keyakinan bahwa ekosistem kuliah yang dijalani sekarang bukanlah tempat harapan yang dicari.

Oleh karena itu, sisa waktu yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh. Momen-momen ini adalah aset paling berharga untuk mengkonsolidasi pembelajaran dan memfokuskan seluruh energi pada tujuan utama mereka.

Kompromi untuk membagi fokus antara kuliah dan persiapan UTBK bukanlah pilihan yang tepat bagi semua orang. Sebagian lulusan memilih jalur yang benar-benar menolak kompromi waktu, yaitu mahasiswa yang memilih untuk gap year penuh. Keputusan ini menuntut pengorbanan status sebagai mahasiswa demi mempertaruhkan segalanya pada tes tahun berikutnya. Jalur ini bukanlah pelarian tanpa masalah, karena arena perang mahasiswa gap year penuh adalah isolasi sosial dan rasa takut tertinggal yang konstan.

Annida Rahmah, seorang pejuang gap year, menjelaskan keputusannya menolak semi-gap year karena keyakinan dan mimpinya. “Aku punya mimpi dan menurutku mimpi itu layak untuk aku perjuangin. Aku ga mau kuliah setengah hati karena ya aku sadar kalo aku tuh anaknya gampang kena distraksi,” ujarnya, Kamis (4/12/2025).

Halaman:

Tags

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

UMJ Perlu Melangkah ke Universitas Kelas Dunia

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:15 WIB