Fokus penuh pejuang gap year membawa konsekuensi konflik mental yang tersembunyi, di mana tantangan terbesarnya adalah untuk melawan diri sendiri. Tekanan akademik (academic pressure) yang dirasakan para pejuang gap year terasa sangat berat ketika mereka memasuki fase kejenuhan dan kehilangan motivasi belajar karena rutinitas yang monoton. Selain itu, rasa takut tertinggal pun tidak terhindarkan.
Momen ospek mahasiswa baru menjadi titik terberat yang memicu keinginan pejuang gap year untuk menghilang sementara waktu. Namun, mereka berhasil mengubah rasa pahit itu menjadi sebuah dorongan. Mereka memilih memegang teguh pemikiran bahwa mereka harus berani menerima risiko dari keputusannya dan menjadikan teman-teman yang sudah menempuh kuliah sebagai motivasi untuk membuktikan bahwa pengorbanannya setahun ini akan terbayarkan.
Ketiga jalur yang dipilih oleh para lulusan Sekolah Menengah Atas ini, baik itu kuliah di jurusan yang dibimbangi, semi-gap year yang rumit, maupun gap year penuh, pada akhirnya menuntut satu hal yang sama, yaitu kedewasaan mental dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Perang batin yang mereka alami adalah bukti bahwa mereka menolak pasrah pada jalan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mereka memilih untuk mengambil risiko dan merancang takdir mereka sendiri, sebab mereka sadar jalan menuju impian tidak selalu lancar dan sempurna, melainkan menuntut pengorbanan serta berani menghadapi stigma dari manapun. Mereka belajar bahwa mimpi yang besar tidak cukup untuk dipegang saja, tetapi harus diperjuangkan dengan strategi yang matang dan terukur.
Pelajaran terbesar dari proses berat yang dijalani para pejuang ini disimpulkan salah satunya oleh Annida Rahmah yang mengatakan bahwa pilihan ini mengajarkan bahwa mimpi itu butuh strategi, bukan hanya harapan dan itu tidak akan terjadi secara instan. Pada akhirnya perang batin akan mereda ketika keberanian memilih dan melangkah sudah terlampaui dengan baik.(Ahidna Khalidaniha Azza Hidayat, Mahasiswai Fakultas Psikologi Universitas Airlangga)