قَالَ أَصْØÙŽØ§Ø¨Ùنَا ÙŠÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨Ù‘Ù ØµÙŽÙˆÙ’Ù…Ù Ø³ÙØªÙ‘َة٠أَيَّام٠مÙنْ شَوَّال٠لÙهَذَا الْØÙŽØ¯Ùيث٠قَالÙوا ÙˆÙŽÙŠÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨Ù‘بّ٠ان يصومها متتابعة ÙÙÙŠ أَوَّل٠شَوَّال٠ÙÙŽØ¥Ùنْ Ùَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عن أول شَوَّال٠جَازَ وَكَانَ ÙَاعÙلًا Ù„ÙØ£ÙŽØµÙ’ل٠هَذÙه٠السّÙÙ†Ù‘ÙŽØ©Ù Ù„ÙØ¹ÙÙ…Ùوم٠الْØÙŽØ¯ÙÙŠØ«Ù ÙˆÙŽØ¥ÙØ·Ù’لَاقÙه٠وَهَذَا لَا Ø®ÙلَاÙÙŽ ÙÙيه٠عÙنْدَنَا وَبÙه٠قَالَ Ø£ÙŽØÙ’مَد٠وداود
“Pengikut madzhab al-Syafi’i (yang merupakan sahabatku dalam permasalahan fikih) memandang sunnah hukumnya berpuasa enam hari di bulan Syawal karena hadits di atas. Mereka juga berpendapat kesunnahan tersebut baiknya dilaksanakan secara berurutan di awal Syawal.Bila ada orang yang memilih melaksanakannya secara acak atau memilih berpuasa di akhir bulan Syawal, maka itu boleh-boleh saja, dan orang tersebut dianggap mengamalkan inti sunnah Nabi karena mengacu pada hadits yang umum, tidak spesifik (di mana Nabi tidak menjelaskan enam hari tersebut apakah harus berurutan atau tidak, juga tidak menjelaskan apakah harus di awal atau di akhir). (Lihat al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hlm 379)
Kesimpulannya hukum melaksanakan puasa enam hari pada Syawal diperdebatkan oleh ulama. Imam al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya memandang bahwa puasa tersebut sunnah, dianjurkan untuk dilaksanakan. Sementara Imam Malik dan Abu Hanifah justru memandang makruh, tidak dianjurkan untuk dilaksanakan.
Bagi yang mengikuti madzhab Imam al-Syafi’i dan ulama yang sepakat dengannya dengan melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, boleh-boleh saja melakukan puasa secara berurutan atau acak, boleh di awal atau di akhir bulan.
Tetapi yang utama adalah melaksanakan puasa selama enam hari Syawal secara berurutan di awal bulan. Wallahu A’lam. (*)