PADA hari Lebaran, di mana-mana kita jumpai sajian makanan yang disebut ketupat. Dalam acara syawalan di berbagai tempat, baik di lingkungan trah, RT, RW, dusun, desa, maupun kantor juga tidak lepas dari sajian makanan ketupat.
Biasanya disajikan dengan opor. Di balik sajian makanan ketupat dalam rangka lebaran, terdapat makna filosofi ketupat dan lebaran.
Makna Ketupat
Dalam filosofi Jawa, ketupat mengandung berbagai makna. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Dalam masyarakat Jawa, terdapat tradisi sungkeman yang merupakan implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan). Sungkeman merupakan implementasi dari ajaran hormat kepada orangtua, dengan bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan.
Dalam etika Jawa, Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa sikap hormat merupakan salah satu etika Jawa yang utama, yang merupakan pandangan hidup orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selira dan menerapkan unggah-ungguh (tata krama dan sopan santun).
Bentuk ketupat persegi empat mencerminkan prinsip kiblat papat lima pancer, yang bermakna ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Kiblat papat diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah nafsu emosional, aluamah nafsu serakah, supiah nafsu yang selalu menginginkan serba indah, dan mutmainah nafsu yang terlalu mengutamakan kebajikan. Keempat nafsu ini ditaklukkan dengan berpuasa, lima pancer. Makna lain ketupat adalah tergambar dalam struktur ketupat yang kompleks, yang mencerminkan beragam kesalahan manusia lebur pada hari lebaran. Ketupat dibuat dari janur yang berarti sejatine nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadan. Setelah ketupat dibuka, akan terlihat nasi putih yang mencerminkan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
Ketupat biasanya disajikan dengan kuah bersantan, yang dalam sastra Jawa dijadikan pantun atau parikan : Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten (ketupat kuahnya santan, kalau ada kesalahan mohon dimaafkan). Tradisi penyajian makanan ketupat, konon digunakan Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan ketupat.