'Salam', Menoreh Peta Jalan Reformasi Pendidikan

Photo Author
- Kamis, 30 Juni 2016 | 13:45 WIB

Suatu pagi, beberapa ibu asyik berbincang tentang dinamika mengurus anak-anak, sembari tangan mereka sibuk mengepal-kepal nasi ketan untuk dibuat lemper di rumah tetangga yang sedang punya hajat. Kisah yang mereka perbincangkan beragam; tentang anak yang tidak mau belajar, anak yang sering pulang malam, anak yang susah diatur, tentang kenakalan di sekolah, dan juga cerita tentang prestasi anak. Ada kisah tentang anak mereka sendiri, tetapi juga ada kisah tentang anak tetangga. Sebagian besar yang diperbincangkan, sebenarnya kisah sedih, tetapi semua diceritakan dalam suasana canda dan tawa.

Sri Wahyaningsih, sang pendiri Kelompok Belajar Sanggar Anak Alam (Salam) ikut terlibat dalam perbincangan ringan pagi itu. Semula terasa biasa saja. Begitulah bila ibu-ibu kampung berkumpul, pasti semua terlibat dalam perbincangan curhat dinamika rumah tangga, termasuk tentang pola asuh anak.

“Pulang dari rewang itu, pikiran saya terus terganggu dengan obrolan ringan tadi. Obrolannya ringan, tapi materinya sebenarnya berat. Soal problem pendidikan anak yang sehari-hari dirasakan orangtua. Ada yang berusaha memfasilitasi anaknya, tapi kadangkala hal itu malah jadi tidak pas, yang seharusnya belum boleh dikonsumsi anak, seperti handphone dan gadget, malah diberikan. Mereka lupa kalau itu bisa mencerabut anak dari dunianya dan kehilangan kehidupan sosialnya,” kisah Wahya, sapaan akrab Sri Wahyaningsih, belum lama ini di Salam, Nitiprayan, Kasihan, Bantul.

Dari kisah itulah, lanjut Wahya, awal Salam menerapkan kebijakan orangtua harus terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka sendiri.

“Menegur orangtua secara langsung, atas kekeliruan dalam menyelesaikan problema pendidikan anak, tentu saja tidak mungkin. Teguran itu hanya akan membuat mereka malu. Kami mencoba membawa masalah ini ke lembaga sekolah agar menjadi keprihatinan dan kegelisahan bersama para orangtua, dengan cara melibatkan mereka dalam proses belajar anak,” kata Wahya.

     

Proses yang holistik  

Salam adalah laboratorium pendidikan dasar yang dihidupkan oleh Wahya dan Toto Rahardjo di kampung Nitiprayan, Yogyakarta, pada 2000. Wahya dan Toto meyakini, penyelenggaraan pendidikan sesungguhnya tidak cukup hanya dilakukan di ruang kelas, antara guru dan anak. Proses belajar itu harus dilakukan secara holistik, dengan melibatkan orangtua siswa dan lingkungan setempat.

Karena itulah, tak seperti yang dilakukan oleh sejumlah sekolah, yang menerapkan berbagai seleksi bagi calon siswa, hal pertama yang dilakukan pengelola Salam justru berdialog dengan orangtua untuk menemukan kesepahaman tentang proses pendidikan yang akan diikuti oleh anak. Proses pendidikan yang menuntut peran serta orangtua secara aktif, dalam berbagai rupa dan dibangun atas dasar kesepakatan bersama. Orangtua juga harus mengikuti ‘Sekolah Keluarga’ yang diselenggarakan di Salam.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puasa Ramadan 2026 Sebentar Lagi Datang

Minggu, 19 Oktober 2025 | 12:30 WIB

Unik, Ijab Qobul di Atas Motor Kuna

Selasa, 24 Juni 2025 | 16:50 WIB
X