Kinerja sindikat TPPO disebutnya sangat rapi. Bahkan keluarga korban bisa dikelabuhinya. “Dokumen korban semua dibuat di Singkawang. Sehingga seloah-olah korban DW itu warga Singkawang. Padahal sesungguhnya ia warga Pontianak,†papar Devi.
Modus sindikat TPPO trans internasional itu modusnya beragam. Pengantin pesanan salah satu modusnya.
“Tujuannya untuk diekploitasi seks atau secara ekonomi, ketika sampai di negara pemesannya,†katanya.
Devi menyebutkan pernikahan pesanan atau kawin kontrak bukanlah pernikahan yang resmi. Tidak ada pencatatan pernikahan di Dukcapil atau lembaga resmi pemerintah. “Hanya menikah begitu saja. Difoto, sudah. Dibawa ke Pekong, selesai,†katanya.
Sebagian, pengantin prianya, didatangkan khusus dari Tiongkok yang dokumen pernikahan kontraknya diurus oleh agen dan Mak Comblang.
“Dan, banyak sekali oknum yang terlibat di dalamnya. Mulai dari oknum Catatan Sipil, oknum Imingrasi, ada juga oknum yang berlindung dibalik jabatan aparat penegak hukum,†ungkap Devi.
Dari kasus DW, Devi menyebut iming-iming mahar perkawinan mencapai Rp45 juta untuk diberikan ke perempuannya. Ongkos akomodasi agen dan comblang, perjalanan dari Tiongkok ke Jakarta, termasuk fee nya, satu pengantin pria Tiongkok itu bisa menghabiskan uang Rp100 sampai Rp300 juta.
“Yang sampai ke korban paling Rp45 juta sampai Rp50 juta. Selebihnya mengalir ke jaringan sindikat,†ujarnya. Bagi orang yang kurang mampu, menurut Devi, mahar Rp45 juta atau Rp50 juta itu sudah luar biasa. Cukup menggiurkan. Padahal uang segitu hanya bisa beli motor. “Belum cukup beli rumah, misalnya,†tukas dia.