MATAHARI sore masih tergantung di atas cakrawala yang akan menjadi peraduanya  untuk menutup siang. Saat itu, pekerja di sekitar kawasan industri Cibitung, Jawa Barat, berseliweran pulang dengan mengendarai sepeda motor. Di tengah keadaan itu ada dua pekerja yang berusia di atas 50 tahunan ngobrol di warung kopi.
"Kita sebentar lagi purnakerja, apa sudah ada gambaran kerjaan lain yang menghasilkan?," tanya lelaki yang kelihatan masih lebih gagah.
"Kalau saya nanti mau buka warung sembako di sekitar tempat tinggal karena saya lihat belum ada warung," timpal lelaki yang menamaninya.
"Modalnya dari mana? Pinjam bank atau. . ," tanya lelaki satunya dengan rasa ingin tahu.
"Saya akan ambil JHT (Jaminan Hari Tua) yang saya jaga betul sebagai  ‘jimat’ pertahanan masa tua untuk modal usaha. Saya tak ingin masa tua sengsara dan merepotkan keluarga," timpalnya.
Mendengar itu, ekspresi teman bicaranya berubah. Ia tampak kaget saat mendengar sebutan JHT sehingga mengundang rasa ingin tahu, kemudian ditanya, "Berapa jumlah dana JHT sampeyan?". Â Dengan perasaan sedih dikisahkan bahwa dana JHT sudah diambil secara bertahap sehingga tak tersisa.
Dialog itu sebagai ilustrasi yang melukiskan rasa kekhawatiran para pekerja  menjelang pensiun karena faktor usia. Padahal, mereka bekerja di perusahaan yang benar-benar mentaati Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga menyertakan pekerjanya pada program jaminan sosial, terutama JHT yang dapat dijadikan harapan setelah tak bekerja lagi.
JHT merupakan program BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja atau peserta. Program ini sebagai pendukung Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sehingga pesertanya sangat terbatas yakni untuk pekerja penerima upah saja. Karena itu, pemberi kerja/pengusaha adalah pemberi iuran. Sedang  pekerjanya dikenakan  2 % dari jumlah gaji yang diterima.
Program JHT ini diwajibkan bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya.Harapannya, dana yang terkumpul dapat digunakan modal usaha setelah tidak bekerja lagi. Idealnya kepesertaan program JHT minimal 20 tahun agar saldo  JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan sehingga dirasakan signifikan. Sayangnya, saat ini sebanyak lima persen pekerja mengundurkan diri dan mencairkan dana JHT meski di antaranya malah bekerja di perusahaan yang sama.