Kondisi itu mengundang perhatian serius anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Angger P Juwono agar pencairan JHT dikembalikan seperti perundang-undangan karena para pekerja banyak yang telah menghabiskan tabungan JHT sebelum usia pensiun sehingga dinilai tidak produktif dan tidak sehat.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto juga menangkap langkah yang kurang bermanfaat bagi pekerja yang mencairkan JHT. Karena itu, ia meminta pemerintah supaya mencabut kebijakan yang membolehkan penarikan JHT sebulan setelah pekerja terkena PHK agar dikembalikan sesuai UU di mana JHT baru bisa ditarik setelah lima tahun satu bulan.
Disebutkan,  sejak sembilan bulan lalu JHT yang ditarik mencapai Rp 13,5 triliun, atau rata-rata per bulan Rp 1,5 triliun rupiah. Namun, hal itu tak mempengaruhi keuangan BPJS Ketenagakerjaan. Meski demikian,  ia menaruh perhatian serius karena penarikan itu  mengakibatkan pekerja tak lagi punya tabungan yang bisa dijadikan modal usaha setelah pensiun.
Menarik dari kenyataan itu, maka upaya mencegah kemubaziran pencairan  JHT melalui desakan agar aturan pencairan dikembalikan pada aturan semula adalah langkah yang tepat. Pasalnya,  PP 60/2015 yang merupakan PP revisi PP 46/2015, keberadaanya menggoda pekerja. Ini terjadi karena telah memberi kelonggaran pencairan JHT yakni sebulan setelah terkena PHK atau berhenti, kerap dimanfaatkan pekerja usia produktif yang kurang sabar.
Berbeda bagi pekerja yang mulai renta, mereka suka melihat matahari senja yang berhias mega-mega. Mereka menangkap pemandangan itu adalah bingkai usia pada dirinya yang tak bisa dinafikan keberadaannya. Maka dalam sisa hidupnya ingin tetap bermakna, sehingga di antara mereka menyadari JHT itu sebagai ‘jimat’ pertahanan purnakerja untuk membangun usaha agar tetap sehat, sejahtera dan tak merepotkan anak-anaknya. (Syaifullah Hadmar)