Krjogja.com - Boyolali - Pengadilan Negeri (PN) Boyolali menggelar sidang lanjutan praperadilan kasus tindak pidana penganiayaan yang menewaskan Aan Henky Damai Setianto (16) remaja asal Ngemplak Boyolali, pada 30 Juli lalu.
Dalam kasus tindak pidana penganiayaan tersebut, polres Boyolali menetapkan Empat tersangka yaitu Rizal Saputra (19), Tegar Yusuf Bahtiar (19), dua diantaranya masih dibawah umur yakni Rp (17) dan Lar (16). Proses penetapan tersangka dinilai sangat terburu-buru dijatuhkan pada waktu dan di hari yang sama dengan terbitnya laporan polisi dan perintah penyidikan.
Kuasa Hukum Dua tersangka Tegar dan Rizal, Hendrik Kusnianto kecewa dengan cara kerja penyidikan yang dilakukan tim penyidik Polres Boyolali. Hendrik membeberkan bukti ketidak beresan penyidik Polres Boyolali dalam menetapkan tersangka dua kliennya itu dilakukan pada tanggal yang sama yakni 31 Juli. Cepatnya proses itu menimbulkan kecurigaan tim kuasa hukum tersangka.
“Bagaimana bisa proses hukum acara pidana yang sangat kompleks dapat dilakukan di hari yang sama oleh termohon (Polisi). Termasuk mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka. Jadi tanggal 31 Juli itu sprindiknya (Surat Perintah Penyidikan) baru keluar. Pada tanggal 31 itu Juli itu juga ada pemeriksaan saksi, dan ada pemeriksaan ahli, dan tanggal 31 itu juga ditetapkan tersangka,” kata Hendrik ditemui
usai sidang, Selasa (3/9/2024).
Selain itu, lanjut Hendrik, tim kuasa hukum juga memberikan surat hasil otopsi yang dilakukan ahli. Disebutkan bahwa, surat hasil otopsi itu baru keluar pada 9 Agustus atau 9 hari setelah dua kliennya ditetapkan sebagai tersangka.
"Kita mempertanyakan dua hal. Pemeriksaan ahli (31 Juli) ini ahli apa yang diajukan, mengingkat tanggal 9 Agustus itu visum et repertum atau hasil visumnya baru keluar. Artinya dua klien kami ini ditetapkan dalam kasus kekerasan tanpa adanya bukti surat visum et Repertum,” kata dia.
Berdasarkan bukti surat itu, penyidik dinilai tidak menggunakan dasar surat visum dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka. Menurutnya, penetapan dua kliennya sebagai tersangka pada tanggal 31 Juli itu tak berdasarkan dengan hasil otopsi. Bukti surat itu sangat penting sebagai bukti jika korban benar-benar meninggal dunia akibat dari pemukulan yang dilakukan kliennya.
Menurutnya, dengan tidak adanya surat Visum Et Repertum itu, penetapan dua kliennya sebagai tersangka kabur.
” Padahal dalam perkara ini (Penganiayaan hingga mengakibatkan meninggal dunia) hasil otopsi menjadi hal yang sifatnya mendasar. Karena itu akan menentukan penyebab kematian korban,” jelasnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga memberikan bukti kesalahan administrasi dalam proses penyidikan kedua kliennya ini. Kesalahan administrasi yang dia berikan ke hakim ini seperti kesalahan dalam penulisan nomor dan lain sebagainya. Selain memberikan bukti surat, pihaknya juga akan menghadirkan ahli pidana.
” Sehingga kedepan juga menjadi catatan bagi Polres Boyolali dalam melakukan prosedur penegakan hukum pidana dan lebih taat administrasi. Kita menghargai proses penegakan hukum Polres Boyolali, tetapi ingat rangkaian penegakan itu harus berdasarkan undang-undang,” ungkapnya.(Mul)