Boyolali - Kasus pencurian celana dalam yang terjadi di Desa Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, mulai mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. KM (12), seorang anak di bawah umur yang diduga menjadi pelaku, dituding mencuri pakaian dalam milik ibu-ibu muda di lingkungannya.
Perilaku ini diduga bukan sekadar tindakan iseng, tetapi bisa jadi berkaitan dengan gangguan seksual yang dikenal sebagai fetishisme pakaian dalam.
Kasus ini terungkap ketika puluhan ibu-ibu mendatangi Mapolres Boyolali untuk melaporkan KM pada Kamis (9/1/2025). Para korban mengaku resah setelah mengalami serangkaian kejadian pencurian dan pelecehan. Salah satu korban, YT (26), bahkan menceritakan dirinya pernah digerayangi saat tidur.
“Pada malam hari, saat saya tidur, ada yang meraba-raba. Saya kira itu anak saya. Ternyata, setelah saya periksa, ada seorang anak yang keluar lewat pintu dapur,” ungkapnya.
Barang bukti berupa tiga kresek berisi celana dalam dan bra yang dicuri oleh KM diserahkan ke polisi. Total korban pencurian ini mencapai lebih dari 20 orang, dengan modus pelaku masuk melalui pintu belakang atau jendela rumah.
Fetishisme Pakaian Dalam: Apa Itu?
Seperti dikutip dari berbagai sumber Fetishisme pakaian dalam adalah bentuk gangguan seksual di mana seseorang memiliki dorongan atau fantasi seksual terhadap objek tertentu, seperti pakaian dalam, yang tidak memiliki konteks seksual secara umum.
Gangguan ini termasuk dalam kategori paraphilic disorders dan sering kali memengaruhi perilaku pelakunya, seperti mencuri untuk memenuhi dorongan tersebut.
Menurut ahli psikologi, gangguan ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti:
Pengalaman Masa Kecil atau Trauma: Pengalaman tertentu yang melibatkan pakaian dalam dapat memberikan asosiasi seksual yang tidak wajar.
Ketidakseimbangan Kimia Otak: Ketidakseimbangan dopamin atau serotonin dapat memicu perilaku kompulsif.
Lingkungan Sosial: Kurangnya pendidikan seksual dan kontrol impuls.
Dalam kasus KM, pihak kepolisian perlu melibatkan psikolog untuk mengevaluasi kondisi mentalnya. Mengingat usia pelaku yang masih sangat muda, rehabilitasi psikologis dan pendidikan seksual menjadi langkah penting untuk mencegah perilaku serupa di masa depan.
Kasus ini menunjukkan pentingnya edukasi kesehatan mental dan seksual, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Penanganan yang tepat tidak hanya membantu korban mendapatkan keadilan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berubah dan menjalani kehidupan yang lebih sehat.