Semua kegiatan dirancang untuk menanamkan rasa tanggung jawab, kemandirian, dan solidaritas. Kedekatan ini menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat. Para wali asuh tidak hanya memberi instruksi, tetapi ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari, seperti membersihkan kamar atau menata ruang belajar.
Dari kebersamaan itu, anak-anak belajar lewat contoh, bukan paksaan. Penanaman kedisiplinan pun dilakukan tanpa kekerasan.
Menurut Indarminto, anggota keamanan yang juga relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kementerian Sosial, SRMA 19 menekankan pendekatan empatik untuk membentuk perilaku siswa.
Ia menjelaskan bahwa masa remaja adalah periode pembentukan karakter yang memerlukan kesabaran. Jika pembentukan karekater dilakukan dengan penuh tekanan atau terlalu keras, anak-anak justru menolak. Karena itu, guru dan seluruh insan pendidikan di sekolah lebih memilih memberi teladan dan membangun kesadaran.
Hasilnya terlihat nyata dalam keseharian siswa. Kegiatan makan bersama, kini berlangsung tertib dan penuh rasa hormat. Siswa antre dengan rapi, menunggu teman, dan berdoa bersama, sebelum makan.
Tidak hanya itu, mereka juga mulai terbiasa menjaga kebersihan lingkungan secara kolektif, membagi tugas, dan saling mengingatkan.
Bagi pengelola sekolah, perubahan-perubahan kecil inilah yang menunjukkan keberhasilan dari pendekatan humanis.
Nilai sopan santun, kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab tumbuh dari pengalaman langsung, bukan dari hukuman.
Membangun empati
Selain aspek kedisiplinan, SRMA 19 menempatkan hubungan emosional antara siswa dan pendamping sebagai hal utama. Banyak siswa merasa lebih nyaman bercerita kepada wali asuh, dibandingkan dengan kepada teman sebaya.
Para pendamping menjadi sosok yang mendengarkan, tanpa menghakimi, memberi ruang bagi setiap anak untuk mengelola emosi dan memahami dirinya sendiri.
Pendekatan ini membantu siswa untuk tumbuh dalam suasana aman dan penuh kepercayaan. Mereka diajarkan untuk mengekspresikan perasaan, dengan cara yang sehat, sekaligus belajar memahami emosi orang lain.
Bagi wali asuh, keberhasilan sejati, bukan hanya ketika anak menjadi pintar, tetapi ketika mereka bisa menemukan ketenangan dan makna dalam hidupnya.