Krjogja.com - YOGYA - Di tengah denyut perubahan zaman, Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) 2025 kembali hadir dengan gebrakan yang lebih segar dan inklusif.
Memasuki edisi ke-30 tahun ini, YGF 2025 tidak hanya mempertunjukkan keindahan musik gamelan, tetapi juga mengundang anak muda, seniman kontemporer, pelaku teknologi, hingga pecinta kuliner untuk merayakan spirit kebudayaan yang terus berkembang.
Baca Juga: MTQ Kecamatan Magelang Tengah 2025 Diikuti 93 Peserta, 3 Cabang Dilombakan
Mengusung tema "Festival Musik, Seni dan Anak Muda, dengan Spirit Gamelan", perhelatan ini akan berlangsung pada 21–27 Juli 2025 di Taman Budaya Embung Giwangan, Yogyakarta.
“Gamelan hari ini tidak hanya milik masa lalu, tetapi juga milik masa kini dan masa depan,” ujar Ari Wulu, Direktur Festival, yang juga dikenal sebagai Ishari Sahida, saat konferensi pers di resto Le Margaux Brasserie, Rabu (16/7).
Ia menekankan bahwa YGF bukan sekadar festival musik tradisi, tetapi juga menjadi ruang temu lintas disiplin: dari diskusi, pameran, hingga eksperimen artistik yang melibatkan teknologi dan partisipasi publik.
Baca Juga: Musorkab KONI Purworejo Segera Digelar Penjaringan Muncul Calon Tunggal
Dinamika budaya yang terus bergerak menjadi tantangan sekaligus peluang. Dalam satu dekade terakhir, anak muda menjadi aktor utama dalam dunia seni dan kreativitas. Hal ini yang coba dibaca YGF.
Melalui berbagai program kolaboratif seperti Sorot Sumirat—video mapping musik maestro—dan Simak Siar—kolaborasi lintas genre. "YGF menghadirkan gamelan bukan sebagai peninggalan yang diam, tetapi sebagai living heritage yang bersenyawa dengan masa kini," kata Panji Pamungkas mewakili Simak Siar.
Gelaran dibuka lewat Gaung Gamelan (21 Juli), di mana ratusan seniman dari 16 kelompok karawitan tampil serentak memainkan gendhing Yogyakarta. Perpaduan laras menciptakan simfoni bunyi kompleks tanpa tata suara modern—sebuah penghormatan terhadap keaslian suara gamelan.
Beriringan dengan itu, Pasar dan Panggung Cokekan jadi jantung interaksi publik. Di sini, kuliner lokal, kriya, pertunjukan rakyat, hingga lomba memasak tampil berdampingan. Ruang ini inklusif dan bebas partisipasi, menjadikannya “panggung rakyat” yang hidup, cair, dan penuh kejutan.
YGF bukan hanya ruang ekspresi, tapi juga refleksi. Kongres Gamelan (22 Juli) menghadirkan praktisi dan sesepuh untuk berdiskusi tentang arah gamelan di era digital. Sementara Panggung Slenthem dan Lokakarya "Gamelan Tanpa Tembok" membuka ruang baru bagi pegiat seni, komunitas, bahkan pemula yang baru mengenal gamelan.
“Gamelan bisa menjadi bahasa universal yang menjembatani generasi, bahkan lintas bangsa,” ujar Dian Lakshmi Pratiwi, SS., MA selaku Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY.
Daya tarik lain dari YGF tahun ini adalah eksplorasi visual dan bunyi. Karya instalasi Jompet Kuswidananto dari sisa rel kereta api hingga kolaborasi dengan Departemen Teknik Elektro UGM dan komunitas Gayam16 menyulap gamelan ke dalam wujud-wujud eksperimental.