“Tapi yang harus diketahui bersama, yang mana semua itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama atau suku. Jadi secara hakikat sebenarnya tidak perlu membawa agama dan suku. Tentunya ada masalah ketika membawa identitas agama dan suku dijadikan ‘stempel’ yang oleh kelompok-kelompok politik tertentu atau partai tertentu agama ini di mata pendukungnya itu sakral dan tidak boleh dikritik. Karena kalau dikritik oleh penganut agama yang lain, tentunya ini yang menjadi problem selama ini dan itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk memperkeruh suasana,†ujarnya.Â
Untuk itu menurutnya, sebagai upaya untuk membangun kembali Indonesia yang Damai tentunya diperlukan usaha keras. Dimana seleuruh elemen bangsa harus dapat mewujudkan faktor-faktor struktural sedikit demi sedikit seperti ekonomi, pendidikan, kesejahteraan maupun infrastruktur yang dijaga dan berjalan dengan baik. Tak hanya itu, aturan juga harus ditegakkan selain kesejahteraan maupun pendidikan di masyarakat diperbagus.Â
“Dan tentuya ketegangan ketegangan yang tidak perlu seperti politisasi agama, suku juga harus dihilangkan. Pendidikan yang lebih enklusif kita galakkan, kontak kontak antar budaya diperbanyak, komunikasi antar kelompok masyarakat jalan, toleransi dijaga, tentu itu semua hasil akhirnya adalah damai,†katanya.Â
Untuk itu menurutnya, hanya dengan cara kembali pada Pancasila, negara ini bisa mencegah perpecahan perpecahan itu. Dirinya juga memuji apa yag dilakukan Kepala BNPT, Komjne Pol Drs Suhardi Alius, yang selalu aktif memberikan kuliah umum kepada para mahasiswa baru terkait Resonansi Kebangsaan.Â
“Resonansi Kabangsaan itu salah satu cara yang bagus untuk melawan gerakan gerakan radikal untuk mengganti negara ini. Kebangsaan kita ini harus kita jaga bersama, kalau kebangsaan itu sudah tertanam kuat, kalau ada provokasi provokasi, indoktrinasi untuk menghajar republik ini kita semua sudah punya daya tangkalnya,†katanya mengakhiri.(*)