Buat Apa Sertifikasi Penulis dan Editor?

Photo Author
- Senin, 11 September 2017 | 07:14 WIB

TANGGAL 4-8 September 2017 saya berada di antara rekan-rekan penulis dalam Pelatihan Asesor Kompetensi Berlisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang digelar Calon Lembaga Sertifikasi Profesi (CLSP) Penulis dan Editor Profesional. Ada 24 orang yang saya sebut sebagai pencetak sejarah karena mereka akan menjadi asesor kompetensi pertama di bidang penulisan. Saya pun termasuk di dalam pelatihan yang dipandu oleh Ibu Inez Mutiara Tedjosumirat, Sekjen Asosiasi Master Asesor Indonesia.

Sebuah upaya telah dilakukan oleh Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) yaitu menyusun Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) untuk Penulis Buku Nonfiksi dan Editor serta mendirikan lembaga sertifikasi profesi. Upaya ini juga didukung oleh Ikapi, Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), Polimedia, Puskurbuk (Kemendikbud), dan Balitbang Kemenkominfo.

Penulis dan editor harus disertifikasi? Repot amat? Memang begitu seharusnya jika kita ingin bersama-sama menata profesi di bidang literasi ini menjadi terstandardisasi dan jelas dalam berbagai aspek. Artinya, ketika seseorang mengaku sebagai penulis buku nonfiksi ataupun editor, ia benar-benar teridentifikasi memiliki kompetensi seperti yang dipersyaratkan.

Coba lihat fenomena betapa banyak orang mengaku ia adalah penulis buku dengan embel-embel berbahasa Inggris: author. Namun, ketika dites pengetahuan dan keterampilannya tentang penulisan buku, ia malah tidak menunjukkan kompetensi layak disebut author—ia bahkan hanya menunjukkan portofolio satu buku karyanya.

Begitu juga dengan editor. Banyak sekali yang mengaku dirinya seorang editor dan mampu mengedit naskah. Namun, ketika diminta membedakan proses editing mekanis dan editing substantif, ia menjadi bingung sendiri. Belum lagi ketika ditanya tentang anatomi atau bagian-bagian tulisan yang harus diedit dan disusun sesuai dengan strukturnya, ia pun makin tidak mengerti.

Di Indonesia, industri perbukuan sudah tumbuh sejak zaman sebelum kolonial Belanda. Semasa penjajahannya, Belanda memperkenalkan industri penerbitan modern kepada masyarakat Indonesia sehingga profesi penulis dan editor juga mulai eksis. Namun, seiring waktu hingga 72 tahun merdeka, standardisasi dalam dunia penerbitan masih kurang mendapatkan perhatian sehingga industri penerbitan menjadi industri kreatif yang tidak memiliki SKKNI/SKKK untuk mengukur kompetensi para pelaku perbukuan—kalah dengan industri pers.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Asosiasi profesi pelaku perbukuan di Indonesia boleh dikatakan sangat minim dan yang eksis hanya satu asosiasi penerbit yaitu Ikapi. Adapun asosiasi penulis dan editor pernah didirikan, tetapi kemudian hilang ditelan masa. Syukur bahwa kini sudah ada dua asosiasi penulis yang berdiri dalam rentang waktu yang berdekatan yaitu Penpro didirikan pada Desember 2016 dan satu lagi Satu Pena (Persatuan Penulis Indonesia) yang didirikan pada Mei 2017. Setelah terbentuknya kedua asosiasi ini, tentu jalan yang harus dirintis adalah menyusun SKKNI di bidang penulisan.

Bakal Terus Dibutuhkan dan Berkembang

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X