"Selain kita lihat tergantung kepada ketinggian hilal, di Indonesia khususnya di kalangan MABIMS, ditentukan juga dengan elongasi. Dan elongasinya juga luar biasa. Elongasi yang sangat menentukan ini ternyata di Indonesia itu sangat tinggi. Di sini 11, 12, 13, 14, 15, dan seterusnya. Sehingga sangat optimistis bahwa hilal yang diamati di seluruh wilayah negeri kita itu berpotensi, berpeluang besar untuk dapat terlihat," tambahnya.
Lebih lanjut, Cecep menjelaskan terkait fase bulan dan umur bulan sinodis dengan ijtima berikutnya, yang diketahui yakni antara 19,2 dengan 29,8 hari hisab dan rukyat.
Dia mengungkap ijtima ini berbeda dengan sebelumnya yang ditandai dengan fenomena gerhana matahari total. Kali ini, ijtima sudah terjadi meski tidak ditandai oleh fenomena gerhana.
Pemaparan Posisi Hilal Awali Rangkaian Sidang Isbat Idul Adha 2024.
"Mengapa menjelang awal Zulhijah kali ini tidak ditandai gerhana? Kita lihat, ijtima terjadi hari Kamis, 6 Juni, jadi 28 Zulqa'dah kemarin, ada yang mengatakan sudah 29 karena sudah lewat tengah malam. Tapi ada seperempat hari yang memang dikorbankan. Dalam hal ini, tanggal 6 Juni pukul 19.37.35 WIB," jelas Cecep.
"Kalau kemarin menjelang Syawal, bulan dan matahari itu berimpit. Jadi definisi dari ijtima itu secara astronomis memiliki bujur ekliptika lamda matahari dan lamda bulan sama, itulah ijtima. Ijtima yang istimewa berarti betanya, lintang ekliptika bulan itu 0 berimpit. Tapi sekarang sudah hampir maksimal. Hampir kita lihat 4,50 derajat, 4,50 derajat. Maksimalnya 5 derajat, kan," tambahnya.
Selanjutnya, dia juga mengatakan hal itu terjadi akibat bidang orbitnya sehingga tidak ditandai oleh gerhana. Menurutnya, kurva saat ini berbeda dengan yang lalu diakibatkan oleh posisi bulan yang ekstrem yakni berada pada 4 derajat di sebelah utara dari matahari sebagai pusat bumi.(*)