Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Pendidikan Indonesia

Photo Author
- Senin, 2 Mei 2022 | 16:10 WIB

RADEN MAS SOEWARDI SOERJANINGRAT, sekarang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Ia merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.

Ki Hadjar Dewantara lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889, dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959, di umur 69 tahun. Sekarang, tanggal kelahiran beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.

Saat masih muda, ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Ia juga sempat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda, tetapi tidak sampai lulus lantaran sakit.

Ki Hadjar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde.

Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal saat itu adalah, "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga." Namun, kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Als ik een Nederlander was" diterjemahkan menjadi, "Seandainya Aku Seorang Belanda."

Akibat tulisannya tersebut, ia pun ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun kedua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan protes atas pengasingan tersebut. Pada akhirnya, mereka bertiga pun diasingkan ke Belanda, dan ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai."

Di dalam masa pengasingannya, Ki Hadjar Dewantara aktif bersosialisai di dalam organisasi pelajar asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor berita Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan masyarakat Indonesia.

Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang dikenal dengan nama Europeesche Akta. Ijazah itulah yang kemudian dapat membantunya mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.

Saat ia berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal tersebut bertujuan agar ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya.

Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913, surat kabar tersebut berada di bawah pimpinan Ernest Douwes Dekker.

Ki Hadjar Dewantara kembali ke Indonesia pada September 1919, ia kemudian bergabung sebagai guru ke dalam sekolah binaan milik saudaranya. Seiring berjalannya waktu, pengalaman mengajar tersebut pun ia gunakan untuk mengembangkan konsep metode pengajaran baru bagi sekolah yang ia dirikan.

Sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah National Onderwijs Institut Taman Siswa atau lebih dikenal dengan Taman Siswa. Sekolah ini didirikan pada 3 Juli tahun 1922 di Jogjakarta.

Prinsip dasar yang ada dalam sekolah Taman Siswa dikenal sebagai Patrap Triloka. Prinsip ini kemudian digunakan sebagai pedoman bagi para guru.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: danar

Tags

Rekomendasi

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

Menemukan Rumah Kedua di Sekolah Rakyat

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:10 WIB
X